Oleh Dahlan Iskan
Mengapa Anda ke Amarillo ini? Jauh-jauh datang dari Indonesia? Itulah
pertanyaan yang sulit saya jawab. Kota ini memang kecil sekali.
Letaknya pun nun di pedalaman Texas.
Maka, saya putuskan untuk menjawabnya dengan seloroh. Sekalian untuk membina keakraban.
Biar segera bisa diterima dengan simpati di kota ini. ”Mumpung Donald Trump belum jadi presiden. Saya kan Islam,” kata saya.
Sang penanya, seorang ibu, tertawa ngakak. Trump memang kurang disukai orang Texas. Juga kurang disukai pemilih perempuan.
Semua tahu bahwa Trump punya rencana melarang orang Islam datang ke Amerika. Juga sering keceplosan menyudutkan perempuan.
Saya berani berseloroh seperti itu karena saya sadar saya lagi di
Texas. Daerah pendukung capres Ted Cruz, putra daerah. Tentu saya tidak
boleh hanya berseloroh.
Saya harus punya jawaban berikutnya. Yang lebih menghibur. ”Saya
datang ke pedalaman Texas ini dengan alasan khusus: untuk sebuah
pembuktian,” kata saya, lebih serius.
”Pembuktian apa?” tanyanya seperti tidak sabar.
”Apakah benar steak daging sapi di sini paling enak sedunia.”
”Wow. Sudah membuktikannya?” tanyanya.
”Sudah. Siang tadi.”
”Benar, kan?”
”Benar sekali.”
Bukan main senangnya. Mereka bangga. Campur tertawa. Tapi, saya tidak
mengada-ada. Siang itu saya memang ke restoran khusus steak. Khas
Texas. Asli. Di kota kecil ini: The Big Texan.
Mencolok sekali bangunannya. Khas koboi. Kanan-kirinya tanah kosong.
Mirip ranch peternakan sapi. Ada patung sapi bongsor di depannya.
Di dalam, penataannya juga khas koboi. Lengkap dengan patung-patung
koboi yang lagi teler. Lalu, ada toko cenderamata yang juga serbakoboi.
”Ada berapa The Big Texan di AS?” tanya saya kepada manajer restoran.
”Hanya satu ini. Di dunia,” jawabnya.
”Wow!” ganti saya yang wow.
Daging sapi di sini tentu segar sekali. Amarillo adalah pusat daging sapi Amerika. Di mana-mana terlihat ranch.
Lima jam saya naik bus dari Oklahoma City ke Amarillo. Yang terlihat
tidak ada lain: padang luas penggembalaan sapi. Di sepanjang I-40,
highway antarnegara bagian.
Demikian juga pemandangan di perjalanan lima jam berikutnya. Dari
Amarillo ke Albuquerque di New Mexico. Semuanya ternak. Ternak. Dan
ternak.
Sebetulnya ada pemandangan lain di atas ternak itu: para penari
langit. Tidak habis-habisnya pemandangan kincir angin yang lagi ribut
mengipasi langit. Besar-besar. Tinggi-tinggi.
Jadinya, pemandangan itu seperti kontradiktif. Kombinasi tradisional dan modern. Ternak di bawah, kincir di atas.
Tidak saling mengganggu. Bahkan, petani kaya di Texas bisa lebih kaya: dapat penghasilan dari dua sumber.
Itulah salah satu perkebunan kincir terbesar di dunia: 600 kilometer persegi. Itulah wind power yang ingin saya lihat.
Menghasilkan 670 megawatt (mw) listrik. Hampir sama dengan pasokan listrik di seluruh Kalimantan.
Itulah tujuan saya sebenarnya ke Amarillo. Melihat wind power yang dikerjakan dengan penuh antusias.
Steak daging Texas memang terbukti mengenyangkan. Sayang, saya tidak
berani memesan steak seperti yang ada di meja-meja orang Texas: ukuran 7
ons. Saya hanya berani memesan 2,5 ons rib. Lalu, pesan lagi 2,5 ons
yang tenderloin.
Kincir anginnya terbukti juga mengenyangkan. Memuaskan emosi spiritual saya.
Saya terus memandang ke perkebunan kincir itu. Tak ada hentinya. Saya
bandingkan dengan yang pernah saya lihat di Spanyol. Atau di Tiongkok.
Di Gurun Gobi. Di wilayah barat Tiongkok.
Waktu itu saya sampai ke Gurun Gobi khusus untuk melihat ini:
pembangkit listrik tenaga angin yang dibangun secara masif di atas gurun
pasir tersebut.
Tapi, yang ada di Texas ini jauh lebih masif. Pun, masih akan lebih
luas lagi. Saya lihat, masih banyak pekerja yang mendirikan tiang-tiang
baru. Maka, saya terus memandangi baling-baling besar yang berputar di
langit Texas itu.
Kadang muncul kekaguman saya. Kadang muncul wajah tertentu di balik putaran kincir itu: wajah Ricky Elson.
Benar, saya lagi di Texas. Tapi, sebagian perasaan saya seperti
sedang berada di Sumba. Atau di Ciheras. Tempat para penari langit
ciptaan Ricky menghibur langit Nusantara yang lagi kelabu.
Saya pun kian ngiri kepada Texas ini. Juga kepada perkebunan kincir
terbesar lainnya di California. Tapi, terselip juga perasaan bangga:
ciptaan Ricky Elson tidak akan kalah sebenarnya.
Saya sudah minta kepada Ricky untuk membuat proyek penari langit seluas 5 mw. Tahun lalu.
”Mau ditaruh di mana?” tanya Ricky.
”Saya belum tahu,” jawab saya.
Terlalu banyak lokasi di Indonesia yang menunggu kehadiran para
penari langit. Khususnya di wilayah timur. Hanya, saya juga belum tahu:
apakah akan mendapat izin. Terutama izin penyerapan listriknya.
Saya hanya ingin Ricky segera bersaing di tingkat dunia. Saya yakin,
temuan teknologi Ricky yang sudah dipatenkan di Jepang itu punya
kelebihan sendiri.
Ricky memang menjawab permintaan saya itu dengan hati-hati. Khas teknolog Jepang. Dia mengatakan masih harus menyusun kekuatan.
Kekuatan ratusan mahasiswa yang kini magang di Ciheras, pantai
selatan Tasikmalaya. Kekuatan itu mungkin tidak mudah disusun. Ciheras
tidaklah berada di Texas. Yang bisa dapat dukungan dari mana-mana. (*)
0 komentar:
Posting Komentar