ketua Persatuan Guru
Republik Indonesia (PGRI), Prof. Sulistyo menyatakan, Kode Etik Guru Indonesia
(KEGI) akan resmi berlaku mulai 1 Januari 2013. Kode etik ini akan mengikat
seluruh guru di Indonesia dan mengatur beberapa hal seperti hubungan antara
guru dengan peserta didik, orang tua, masyarakat, teman sejawat, dan organisasi
profesi. Kode etik guru itu sudah disepakati oleh pemerintah.
“Guru
yang dalam pelaksanaan tugas dan pengabdiannya menyalahi kode etik, akan diberi
sanksi tegas sesuai dengan draf kode etik yang berlaku,” kata Sulistyo di
sela-sela ASEAN Council of Teacher
Convention ke-28 di Sanur, Bali, Sabtu 8 Desember 2012.
Sulistyo menjelaskan,
sesuai kajian yang dilakukan oleh tim ahli, butir-butir kode etik itu memiliki
relevansi dengan kondisi terkini dan sangat sesuai dengan kompentensi pedagogik
dan profesional seorang guru. Semua guru tanpa kecuali harus mentaati kode etik
tersebut.
Untuk menunjang penerapan
kode etik guru ini, saat ini sudah dibentuk Dewan Kehormatan Guru di seluruh
kabupaten dan kota di Indonesia. “Jadi bila seorang guru melanggar kode etik,
maka laporannya harus ditujukan ke dewan kehormatan tersebut,” kata Sulistyo.
Namun, walau sudah memiliki kode etik, bila ada oknum guru yang melakukan
kriminalitas, maka sanksi hukumnya tetap berlaku menurut hukum pidana atau
perdata. Kode etik hanya mengatur pelanggaran dalam koridor profesi seseorang
sebagai guru.
Kode etik
guru diyakini terkait erat dengan mutu guru dan pendidikan di Indonesia.
“Jurnalis punya kode etik jurnalis, dokter punya kode etik kedokteran. Demikian
juga para guru perlu ada kode etiknya. Tidak ada pendidikan yang bermutu kalau
gurunya tidak bermutu,” ujar Sulistyo sebagaimana dilansir news.viva.co.id.
Berikut
saya kutipkan secara utuh Kode Etik Guru Indonesia serta Dewan Kehormatan dan
Prosedur Operasional Kode Etik Guru Indonesia dari laman www.pgri.or.id.
KODE ETIK GURU INDONESIA
PEMBUKAAN
Dengan rahmat Tuhan Yang
Maha Esa guru Indonesia menyadari bahwa jabatan guru adalah suatu
profesi yang terhormat dan mulia. Guru mengabdikan diri dan berbakti untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang
beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan
beradab.
Guru Indonesia selalu
tampil secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Guru Indonesia memiliki kehandalan yang
tinggi sebagai sumber daya utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab.
Guru
Indonesia adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik, yang dalam melaksankan
tugas berpegang teguh pada prinsip “ing
ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. Dalam
usaha mewujudkan prinsip-prinsip tersebut guru Indonesia ketika menjalankan
tugas-tugas profesionalnya dituntut memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi.
Guru Indonesia bertanggung
jawab mengantarkan siswanya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin
bangsa pada semua bidang kehidupan. Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan
selayaknya tidak mengabaikan peranan guru dan profesinya, agar bangsa dan
negara dapat tumbuh sejajar dengan dengan bangsa lain di negara maju, baik pada
masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kondisi seperti itu bisa
mengisyaratkan bahwa guru dan profesinya merupakan komponen kehidupan yang
dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini sepanjang zaman. Hanya dengan pelaksanaan
tugas guru secara profesional hal itu dapat diwujudkan eksitensi bangsa dan
negara yang bermakna, terhormat dan dihormati dalam pergaulan antar
bangsa-bangsa di dunia ini.
Peranan guru semakin
penting dalam era global. Hanya melalui bimbingan guru yang profesional, setiap
siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif dan
produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi persaingan yang makin ketat
dan berat sekarang dan dimasa datang.
Dalam melaksanakan tugas
profesinya guru Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik
Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah
dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik
putera-puteri bangsa.
BAGIAN SATU
Pengertian, Tujuan, dan Fungsi
Pasal 1
(1)
|
Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati
dan diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku
dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan
warga negara.
|
(2)
|
Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud pasa ayat
(1) pasal ini adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang
baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan
tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari
di dalam dan di luar sekolah.
|
Pasal 2
(1)
|
Kode Etik Guru Indonesia merupakan pedoman sikap dan perilaku
bertujuan menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat
yang dilindungi undang-undang.
|
(2)
|
Kode Etik Guru Indonesia berfungsi sebagai seperangkat prinsip
dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru
dalam hubungannya dengan peserta didik, orangtua/wali siswa, sekolah dan
rekan seprofesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai
agama, pendidikan, sosial, etika, dan kemanusiaan.
|
BAGIAN DUA
Sumpah/Janji Guru Indonesia
Pasal 3
(1)
|
Setiap guru mengucapkan sumpah/janji guru Indonesia sebagai
wujud pemahaman, penerimaan, penghormatan, dan kesediaan untuk mematuhi
nilai-nilai moral yang termuat di dalam Kode Etik Guru
Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, baik di
sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
|
(2)
|
Sumpah/janji guru Indonesia diucapkan di hadapan pengurus
organisasi profesi guru dan pejabat yang berwenang di wilayah kerja
masing-masing.
|
(3)
|
Setiap pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dihadiri oleh
penyelenggara satuan pendidikan.
|
Pasal 4
(1)
|
Naskah sumpah/janji guru Indonesia dilampirkan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari Kode Etik Guru Indonesia.
|
(2)
|
Pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dapat dilaksanakan
secara perorangan atau kelompok sebelum melaksanakan tugas.
|
BAGIAN TIGA
Nilai-nilai Dasar dan Nilai-nilai Operasional
Pasal 5
Kode Etik Guru Indonesia
bersumber dari:
(1)
|
Nilai-nilai agama dan Pancasila.
|
(2)
|
Nilai-nilai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
|
(3)
|
Nilai-nilai jatidiri, harkat, dan martabat manusia yang meliputi
perkembangan kesehatan jasmaniah. emosional, intelektual, sosial, dan
spiritual,
|
Pasal 6
(1)
|
Hubungan Guru dengan Peserta Didik:
|
|
a.
|
Guru berprilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
|
|
b.
|
Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati, dan
mengamalkan hak-hak dan kewajibannya sebagai individu, warga sekolah, dan
anggota masyarakat.
|
|
c.
|
Guru mengakui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik
secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan
pembelajaran.
|
|
d.
|
Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan
menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.
|
|
e.
|
Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus
berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang
menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta
didik.
|
|
f.
|
Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa
kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar
batas kaidah pendidikan.
|
|
g.
|
Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan
yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.
|
|
h.
|
Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya
untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya,
termasuk kemampuannya untuk berkarya.
|
|
i.
|
Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan
tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.
|
|
j.
|
Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya
secara adil.
|
|
k.
|
Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi
kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
|
|
l.
|
Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan
penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
|
|
m.
|
Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta
didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan
gangguan kesehatan, dan keamanan.
|
|
n.
|
Guru tidak membuka rahasia pribadi peserta didiknya untuk
alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum,
kesehatan, dan kemanusiaan.
|
|
o.
|
Guru tidak menggunakan hubungan dan tindakan profesionalnya
kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial,
kebudayaan, moral, dan agama.
|
|
p.
|
Guru tidak menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan
peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
|
(2)
|
Hubungan Guru dengan Orangtua/Wali Murid:
|
|
a.
|
Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan
efisien dengan orangtua/wali siswa dalam melaksanakan proses pendidikan.
|
|
b.
|
Guru memberikan informasi kepada orangtua/wali secara jujur dan
objektif mengenai perkembangan peserta didik.
|
|
c.
|
Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang
lain yang bukan orangtua/walinya.
|
|
d.
|
Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan
berpartisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan.
|
|
e.
|
Guru bekomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa
mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada
umumnya.
|
|
f.
|
Guru menjunjung tinggi hak orangtua/wali siswa untuk
berkonsultasi denganya berkaitan dengan kesejahteraan, kemajuan, dan
cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan.
|
|
g.
|
Guru tidak melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan
orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
|
(3)
|
Hubungan Guru dengan Masyarakat :
|
|
a.
|
Guru menjalin komunikasi dan kerjasama yang harmonis,
efektif, dan efisien dengan masyarakat untuk memajukan dan mengembangkan
pendidikan.
|
|
b.
|
Guru mengakomodasikan aspirasi masyarakat dalam mengembangkan
dan meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran.
|
|
c.
|
Guru peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat.
|
|
d.
|
Guru bekerjasama secara arif dengan masyarakat untuk
meningkatkan prestise dan martabat profesinya.
|
|
e.
|
Guru melakukan semua usaha untuk secara bersama-sama dengan
masyarakat berperan aktif dalam pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan
peserta didiknya.
|
|
f.
|
Guru mememberikan pandangan profesional, menjunjung tinggi
nilai-nilai agama, hukum, moral, dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan
masyarakat.
|
|
g.
|
Guru tidak membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya
kepada masyarakat.
|
|
h.
|
Guru tidak menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupan
bermasyarakat.
|
(4)
|
Hubungan Guru dengan Sekolah dan Rekan Sejawat:
|
|
a.
|
Guru memelihara dan meningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi
sekolah.
|
|
b.
|
Guru memotivasi diri dan rekan sejawat secara aktif dan kreatif
dalam melaksanakan proses pendidikan.
|
|
c.
|
Guru menciptakan suasana sekolah yang kondusif.
|
|
d.
|
Guru menciptakan suasana kekeluargaan di didalam dan luar
sekolah.
|
|
e.
|
Guru menghormati rekan sejawat.
|
|
f.
|
Guru saling membimbing antarsesama rekan sejawat.
|
|
g.
|
Guru menjunjung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan
kesejawatan dengan standar dan kearifan profesional.
|
|
h.
|
Guru dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan
juniornya untuk tumbuh secara profesional dan memilih jenis pelatihan yang
relevan dengan tuntutan profesionalitasnya.
|
|
i.
|
Guru menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan
pendapat-pendapat profesional berkaitan dengan tugas-tugas pendidikan dan
pembelajaran.
|
|
j.
|
Guru membasiskan-diri pada nilai-nilai agama, moral, dan
kemanusiaan dalam setiap tindakan profesional dengan sejawat.
|
|
k.
|
Guru memiliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat
meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugas-tugas
profesional pendidikan dan pembelajaran.
|
|
l.
|
Guru mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dari
kaidah-kaidah agama, moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya.
|
|
m.
|
Guru tidak mengeluarkan pernyataan-keliru berkaitan dengan
kualifikasi dan kompetensi sejawat atau calon sejawat.
|
|
n.
|
Guru tidak melakukan tindakan dan mengeluarkan
pendapat yang akan merendahkan marabat pribadi dan profesional sejawatnya.
|
|
o.
|
Guru tidak mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya
atas dasar pendapat siswa atau masyarakat yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
|
|
p.
|
Guru tidak membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk
pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum.
|
|
q.
|
Guru tidak menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau
tidak langsung akan memunculkan konflik dengan sejawat.
|
(5)
|
Hubungan Guru dengan Profesi :
|
|
a.
|
Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi.
|
|
b.
|
Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu
pendidikan dan mata pelajaran yang diajarkan.
|
|
c.
|
Guru terus menerus meningkatkan kompetensinya.
|
|
d.
|
Guru menunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam
menjalankan tugas-tugas profesional dan bertanggungjawab atas konsekuensinya.
|
|
e.
|
Guru menerima tugas-tugas sebagai suatu bentuk tanggungjawab,
inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional
lainnya.
|
|
f.
|
Guru tidak melakukan tindakan dan mengeluarkan
pendapat yang akan merendahkan martabat profesionalnya.
|
|
g.
|
Guru tidak menerima janji, pemberian, dan pujian yang dapat
mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan profesionalnya.
|
|
h.
|
Guru tidak mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari
tugas-tugas dan tanggungjawab yang muncul akibat kebijakan baru di bidang
pendidikan dan pembelajaran.
|
(6)
|
Hubungan Guru dengan Organisasi Profesinya :
|
|
a.
|
Guru menjadi anggota organisasi profesi guru dan berperan serta
secara aktif dalam melaksanakan program-program organisasi bagi kepentingan
kependidikan.
|
|
b.
|
Guru memantapkan dan memajukan organisasi profesi guru yang
memberikan manfaat bagi kepentingan kependidikan.
|
|
c.
|
Guru aktif mengembangkan organisasi profesi guru agar menjadi
pusat informasi dan komunikasi pendidikan untuk kepentingan guru dan
masyarakat.
|
|
d.
|
Guru menunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam
menjalankan tugas-tugas organisasi profesi dan bertanggungjawab atas
konsekuensinya.
|
|
e.
|
Guru menerima tugas-tugas organisasi profesi sebagai suatu
bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam
tindakan-tindakan profesional lainnya.
|
|
f.
|
Guru tidak melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang
dapat merendahkan martabat dan eksistensi organisasi profesinya.
|
|
g.
|
Guru tidak mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk
memperoleh keuntungan pribadi dari organisasi profesinya.
|
|
h.
|
Guru tidak menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi
profesi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
|
(7)
|
Hubungan Guru dengan Pemerintah:
|
|
a.
|
Guru memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program
pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, UU
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, dan
ketentuan perundang-undangan lainnya.
|
|
b.
|
Guru membantu program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan
yang berbudaya.
|
|
c.
|
Guru berusaha menciptakan, memelihara dan meningkatkan rasa
persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
|
|
d.
|
Guru tidak menghindari kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah
atau satuan pendidikan untuk kemajuan pendidikan dan pembelajaran.
|
|
e.
|
Guru tidak melakukan tindakan pribadi atau kedinasan yang
berakibat pada kerugian negara.
|
BAGIAN EMPAT
Pelaksanaan, Pelanggaran, dan Sanksi
Pasal 7
(1)
|
Guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas
pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia.
|
(2)
|
Guru dan organisasi guru berkewajiban
mensosialisasikan Kode Etik Guru Indonesia kepada rekan sejawat,
penyelenggara pendidikan, masyarakat, dan pemerintah.
|
Pasal 8
(1)
|
Pelanggaran adalah perilaku menyimpang dan atau tidak
melaksanakana Kode Etik Guru Indonesia dan ketentuan perundangan yang berlaku
yang berkaitan dengan profesi guru.
|
(2)
|
Guru yang melanggar Kode Etik Guru Indonesia dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
|
(3)
|
Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran ringan, sedang, dan
berat.
|
Pasal 9
(1)
|
Pemberian rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan
pelanggaran terhdap Kode Etik Guru Indonesia menjadi wewenang
Dewan Kehormatan Guru Indonesia.
|
(2)
|
Pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus objektif, tidak diskriminatif, dan
tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan
perundang-undangan.
|
(3)
|
Rekomendasi Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi guru.
|
(4)
|
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan upaya
pembinaan kepada guru yang melakukan pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan
martabat profesi guru.
|
(5)
|
Siapapun yang mengetahui telah terjadi pelanggaran Kode Etik
Guru Indonesia wajib melapor kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia,
organisasi profesi guru, atau pejabat yang berwenang.
|
(6)
|
Setiap pelanggar dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau
tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasihat hukum sesuai dengan
jenis pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan Guru Indonesia.
|
Bagian Lima
Ketentuan Tambahan
Pasal 10
Tenaga kerja asing yang
dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi
Kode Etik Guru Indonesia dan peraturan perundang-undangan.
Bagian Enam
Penutup
Pasal 11
(1)
|
Setiap guru harus secara sungguh-sungguh menghayati,
mengamalkan, serta menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia.
|
(2)
|
Guru yang belum menjadi anggota organisasi profesi guru harus
memilih organisasi profesi guru yang pembentukannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
|
(3)
|
Dewan Kehormatan Guru Indonesia menetapkan sanksi kepada guru
yang telah secara nyata melanggar Kode Etik Guru Indonesia.
|
***
DEWAN KEHORMATAN
DAN
PROSEDUR OPERASIONAL KODE ETIK GURU INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pengertian
Dalam peraturan ini yang
dimaksud dengan:
(1)
|
Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) adalah perangkat
kelengkapan organisasi PGRI yang dibentuk untuk menjalankan tugas dalam
memberikan saran, pendapat, pertimbangan, penilaian, penegakkan, dan
pelanggaran disiplin organisasi dan etika profesi guru.
|
(2)
|
Peraturan tentang Dewan Kehormatan Guru Indonesia adalah
pedoman pokok dalam mengelola Dewan Kehormatan Guru Indonesia, dalam hal
penyelenggaraan tugas dan wewenang bimbingan, pengawasan, dan penilaian Kode
Etik Guru Indonesia.
|
(3)
|
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.
|
(4)
|
Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan
diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
|
(5)
|
Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah,
atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan formal dalam setiap jenjang
dan jenis pendidikan.
|
(6)
|
Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah
yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
|
(7)
|
Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati
dan diterima oleh guru sebagai pedoman sikap perilaku dalam melaksanakan
tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.
|
(8)
|
Penanganan dan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia, adalah
pedoman pokok dalam penanganan pelanggaran bagi guru dan tenaga kependidikan
lainnya terhadap etika guru yang telah ditetapkan.
|
BAB II
KEORGANISASIAN
Pasal 2
Keorganisasian DKGI
Keorganisasian Dewan
Kehormatan Guru Indonesia merupakan peraturan atau pedoman pelaksanaan yang dijabarkan
dari Anggaran Dasar (AD) PGRI BAB XVII pasal 30, dan Anggaran Rumah Tangga
(ART) PGRI BAB XXVI pasal 92 tentang Majelis Kehormatan Organisasi dan Kode
Etik profesi, dalam rangka penegakan disiplin etik guru.
Pasal 3
Tata Cara Pembentukan
(1)
|
Dewan Kehormatan Guru Indonesia berada di tingkat pusat,
tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, yang di bentuk oleh badan pimpinan
organisasi PGRI yang bersangkutan.
|
|
(2)
|
Dewan Kehormatan Guru Indonesia tingkat pusat di sebut
sebagai DKGI Pusat, pada tingkat Provinsi di sebut DGKI Provinsi,
dan pada Kabupaten/kota di sebut DKGI Kabupaten/Kota.
|
|
(3)
|
Pembentukan DKGI hanya dibenarkan jika di daerah tersebut telah
ada pengurus PGRI tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota : yang masing-masing
disebut pengurus Provinsi dan Kabupaten/kota.
|
|
(4)
|
Pembentukan DKGI pusat dilakukan oleh Konfrensi pusat (Konpus)
PGRI, sedangkan pembentukan di provinsi dan Kabupaten/kota,
masing-masing melalui Konfrensi Kerja Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
|
|
(5)
|
Untuk kepentingan pertimbangan khusus dalam pengesahan
organisasi DKGI dimaksud dari pengurus besar PGRI sebagaimana
dimaksud dalam ayat 4 diatas, pengurus PGRI Propinsi dan atau Kabupaten/kota
harus mengirimkan informasi tentang :
|
|
a.
|
Data organisasi dan anggota secara lengkap dan menyeluruh.
|
|
b.
|
Hal-hal lain yang berkaitan dengan urgensi pembentukan DKGI
dimaksud.
|
Pasal 4
Status
(1)
|
Status DKGI adalah perangkat kelengkapan
organisasi PGRI, sehingga keputusannya merupakan keputusan
pengurus PGRI.
|
(2)
|
Status DKGI Pusat maupun Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dalam
organisasi PGRI adalah sebagai badan otonom, dalam pengertian bahwa segala
keputusannya yang diambil tidak bisa dipengaruhi pengurus PGRI atau
badan-badan yang lainnya.
|
(3)
|
Untuk menjamin kenetralan sikap dan keputusan yang akan
ditetapkan maka penyelenggaraan tugas dan wewenangnya harus dilakukan secara
terpisah dari pengelolaan berbagai perangkat kelengkapan organisasi PGRI
lainnya.
|
(4)
|
Pengelolaan tugas dan wewenang DKGI harus terpisah dari tugas
dan wewenang Pengurus Besar PGRI dan begitupun selanjutnya sampai ke Provinsi
dan atau Kabupaten/Kota.
|
Pasal 5
Kedudukan
(1)
|
Kedudukan DKGI pusat berada di tempat kedudukan Pengurus Besar
PGRI dan begitupun di tingkat Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
|
(2)
|
Wilayah kerja DKGI adalah wilayah kerja organisasi PGRI yang
setingkat dengan tingkatan dari organisasi PGRI di maksud.
|
(3)
|
Apabila pengurus PGRI Provinsi belum terbentuk dan karena itu
DKGI belum bisa terbentuk maka tugas kerja daerah tersebut dijabat oleh
pengurus daerah PGRI terdekat, begitupun dengan PGRI
Kabupaten/kota.
|
(4)
|
Fungsi dan tugas DKGI di tingkat Cabang dan Ranting PGRI menjadi
tanggung jawab Pengurus PGRI Kabupaten/kota.
|
(5)
|
Pelimpahan tugas sebagaimana disebut dalam ayat 3 di atas
ditetapkan melaui Surat Keputusan pengurus Besar PGRI khusus untuk PGRI
Provinsi, dan dari pengurus PGRI Provinsi untuk PGRI Kabupaten/kota.
|
Pasal 6
Susunan Pengurus
(1)
|
Susunan keanggotaan DKGI terdiri dari unsur Dewan Penasehat,
Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan Keahlian Sejenis, dan yang
lainnya sesuai dengan keperluan.
|
(2)
|
Susunan pengurus DKGI sekurang-kurangnya terdiri dari seorang
ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan 5
anggota dengan jumlah seluruhnya paling banyak 10 orang untuk pusat, dan
sebanyak-banyaknya 7 orang untuk daerah.
|
(3)
|
Susunan anggota DKGI terdiri dari unsur Dewan Pesehat, Badan
Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan keahlian Sejenis dan yang lainnya
yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda baik profesi maupun
pengalamannya misalnya pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan dan lainnya.
|
(4)
|
Jika diperlukan maka Keanggotaan DKGI bisa saja ditambah
sebanyak 3 orang anggota tidak tetap, yang penunjukkannya atas dasar
keperluan terhadap keahlian tertentu sesuai dengan kasus atau permasalahan
yang ditangani.
|
(5)
|
Selama menangani masalah, maka anggota DKGI tidak tetap
sebagaimana ayat 4 di atas pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama
dengan anggota tetap lainnya.
|
(6)
|
Masa jabatan anggota DKGI tidak tetap segera berakhir
apabila masalah yang ditangani sudah selesai berdasarkan berbagai sisi norma
dan ketentuan yang ada.
|
Pasal 7
Tata Cara Penyusunan Pengurus dan Anggota
(1)
|
Ketua DKGI Pusat dipilih melalui Konfrensi Pusat PGRI, dan ketua
di Provinsi dan atau Kabupaten/Kota melalui Konferensi Kerja PGRI Provinsi
dan atau Kabupaten/kota.
|
(2)
|
Ketua DKGI terpilih selaku formatur tunggal dan atas dasar
masukan dari pengurus PGRI berkewajiban untuk segera menunjuk, mengangkat dan
menetapkan sekertaris, bendahara dan anggota secara lengkap.
|
(3)
|
Sebelum DKGI menjalankan fungsi dan tugasnya maka ketua DKGI
memberitahukan terlebih dahulu kepada pengurus PGRI tentang susunan pengurus
secara resmi dan lengkap.
|
(4)
|
Penunjukkan, pengangkatan dan pengesahan anggota DKGI tidak
tetap dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah dengan pengurus dan
konsultasi dengan pengurus PGRI.
|
(5)
|
Apabila salah seorang anggota DKGI meninggal dunia atau
mengundurkan diri atau karena suatu hal diberhentikan sebagai anggota maka
penggantiannya dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah seperti ayat
tersebut di atas.
|
(6)
|
Pemberhentian terhadap anggota DKGI hanya dilakukan apabila yang
bersangkutan dinilai melanggar aturan yang ditentukan dan tidak lagi sesuai
dengan syarat-syarat sebagai pengurus atau anggota DKGI.
|
Pasal 8
Syarat-Syarat Pengurus dan Anggota
Syarat-syarat yang wajib
dipenuhi oleh seseorang untuk dapat dipilih, diangkat, atau ditunjuk menjadi
pengurus atau anggota DKGI adalah guru dan tenaga kependidikan lainnya yang di
yakini:
(1)
|
Beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
|
(2)
|
Berjiwa nasionalisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
|
(3)
|
Memiliki kepribadian yang dapat diterima dan disegani serta
memiliki kredibilitas profesi kependidikan yang cukup tinggi.
|
(4)
|
Loyalitas yang tinggi terhadap organisasi PGRI, peka terhadap
perkembangan permasalahan yang muncul di lingkungan kependidikan dan maupun
kemasyarakatan.
|
(5)
|
Menguasai masalah Kependidikan, guru dan tenaga kependidikan.
|
(6)
|
Bersih, jujur, adil, sabar, terbuka dan berwibawa.
|
Pasal 9
Masa Jabatan Pengurus
(1)
|
Masa jabatan kepengurusan DKGI sama dengan masa jabatan pengurus
PGRI yaitu selama 5 tahun.
|
(2)
|
Masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat satu di atas segera
berlaku setelah adanya pengesahan secara keorganisasian dari Pengurus Besar
PGRI, dan pengesahan kepengurusan dari Pengurus PGRI yang ada pada daerah
tersebut.
|
Pasal 10
Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan AD PGRI BAB
XVII pasal 30 ayat 2, dan ART PGRI BAB XXVI pasal 92, maka tugas dan fungsi
DKGI adalah :
(1)
|
memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan tentang
pelaksanaan, penegakan, pelanggaran disiplin organisasi dan Kode Etik Guru
Indonesia Indonesia kepada Badan Pimpinan organisasi yang membentuknya
tentang:
|
|
a.
|
pelaksanaan bimbingan, pengawasan, penilaian dalam pelaksanaan
disiplin organisasi serta Kode Etik Guru Indonesia;
|
|
b.
|
pelaksanaan, penegakan, dan pelanggaran disiplin organisasi yang
terjadi di wilayah kewenangannya;
|
|
c.
|
pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan baik oleh
pengurus maupun oleh anggota serta saran dan pendapat tentang tindakan yang
selayaknya dijatuhkan terhadap pelanggaran kode etik tersebut;
|
|
d.
|
pelaksanaan dan cara penegakan disiplin organisasi dan Kode Etik
Guru Indonesia; dan,
|
|
e.
|
pembinaan hubungan dengan mitra organisasi di bidang penegakan
serta pelanggaran disiplin organisasi serta Kode Etik Guru;
|
|
(2)
|
pelaksanaan tugas bimbingan, pembinaan, penegakan disipin,
hubungan dan pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia sebagaiamana ayat-ayat di
atas dilakukan bersama pengurus PGRI di segenap perangkat serta jajaran di
semua tingkatan;
|
|
(3)
|
pelaksanaan tugas penilaian dan pengawasan pelaksanaan kode etik
profesi sebagaimana ayat-ayat di atas dilakukan melalui masing-masing DKGI di
semua tingkatan organisasi.
|
Pasal 11
Pertanggung Jawaban
DKGI Pusat bertanggung
jawab kepada Pengurus Besar PGRI melalui Kongres dan Konpus PGRI; DKGI PGRI
Provinsi dan atau Kabupaten/kota bertanggung jawab kepada Pengurus PGRI
Provinsi dan atau Kabupaten/kota melalui Konprov/Konkerprov dan Konkab/Konkot
dan atau Konkerkab/Kot di Provinsi dan atau di Kabupaten/kota.
Pasal 12
Ketentuan Persidangan
DKGI pada waktu
melaksanakan tugas dan fungsinya terutama tugas penilaian dan pengawasan perlu
menyelenggarakan persidangan-persidangan dengan ketentuan sebagai berikut :
(1)
|
pelaksanaan persidangan DKGI akan dianggap sah apabila dihadiri
lebih dari satu per dua dari jumlah anggota;
|
(2)
|
waktu dan jumlah persidangan tergantung kebutuhan, dan hasil
dari seluruh persidangan akan menjadi laporan pertanggungjawaban satu tahun
satu kali dalam forum organisasi yang disebut Konpus, konkerprov dan atau
Konkerkab/kot PGRI, dan lima tahun sekali dalam forum Kongres dan atau
Konkab/kot PGRI;
|
(3)
|
DKGI dalam melaksanakan persidangan harus bersifat tertutup,
kecuali apabila dikehendaki lain, dan ditentukan seluruhnya oleh DKGI itu
sendiri;
|
(4)
|
ketua DKGI menjadi pimpinan sidang, dan apabila berhalangan
hadir maka penggantinya adalah wakil ketua, dan apabila masih juga
berhalangan maka persidangan sementara ditunda;
|
(5)
|
sekretarias bertanggung jawab atas seluruh pencatatan dan
pelaporan hasil sidang, apabila sekretaris berhalangan bisa digantikan oleh
anggota yang ditunjuk pimpinan sidang yang disepakati anggota yang lainnya.
|
Pasal 13
Keputusan Persidanganan
(1)
|
Keputusan diambil atas dasar musyawarah dan mufakat; dan apabila
tidak tercapai maka pengambilan keputusan diambil atas dasar perhitungan
suara terbanyak.
|
(2)
|
Perhitungan suara dilakukan secara bebas dan rahasia dari setiap
anggota yang memiliki hak bicara atau hak suara.
|
(3)
|
keputusan yang diambil harus diteruskan ke Pengurus PGRI yang
setingkat untuk segera ditindaklanjuti seperlunya.
|
Pasal 14
Garis Hubungan Kerja
(1)
|
Garis hubungan kerja antara DKGI pusat dengan Provinsi dan atau
Kabupaten/kota adalah bersifat konsultatif, pelaporan maupun pelimpahan
wewenang penanganan masalah kasus pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia.
|
(2)
|
Garis hubungan kerja DKGI dengan pengurus PB PGRI dan atau
Perngurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota didasarkan bahwa DKGI adalah
kelengkapan perangkat organisasi otonom yang dibanggakan.
|
(3)
|
Keputusan DKGI harus mejadi keputusan Pengurus PGRI, dan
Pengurus PGRI harus melaksanakan keputusan DKGI yang setingkat dengan
pengurus PGRI.
|
(4)
|
Apabila DKGI mengadakan garis hubungan kerja dengan pengurus
PGRI yang lebih tinggi tingkatannya maka harus melalui pengurus PGRI yang
setingkat dengan DKGI tersebut.
|
Pasal 15
Adminstrasi dan Pendanaan
(1)
|
Administrasi DKGI dikelola oleh sekretaris, dan tatalaksana
perkantoran berpedoman/mengikuti dan ditunjang oleh pengurus PGRI.
|
(2)
|
Pengelola sekretariat DKGI harus bertanggung jawab atas jaminan
kerahasiaan seluruh berkas-berkas persidangan dan yang lainnya.
|
(3)
|
Pendanaan yang dibutuhkan untuk kelancaran dalam menjalankan
fungsi dan tugas DKGI menjadi tanggung jawab pengurus PGRI.
|
BAB III
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
Pasal 16
T u j u a n
Meningkatkan mutu
pengabdian profesi guru dan dan tenaga kependidikan lainnya dalam mempercepat
tercapainya tujuan pembangunan nasional, khususnya program pembangunan
pendidikan, dengan jalan :
(1)
|
meningkatkan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia terhadap
seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya serta masyarakat secara umum;
|
(2)
|
meningkatkan perilaku guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan etika guru demi terciptanya proses
pengabdian profesi kependidikan yang lebih baik;
|
(3)
|
menciptakan suasana masyarakat yang lebih kondusif, sehingga
akan lebih menguntungkan dalam proses pengabdian dan penerapan etika guru.
|
Pasal 17
Sasaran yang Ingin dicapai
Sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan dalam pasal 17 di atas, maka sasaran dari pembinaan dan
pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai berikut:
(1)
|
guru dan tenaga kependidikan lainnya dapat menjalankan
pengabdian khususnya di bidang pendidikan dengan baik;
|
(2)
|
terjadinya pemahaman tentang etika guru bagi calon guru dan
tenaga kependidikan lainnya yang berada di lembaga kependidikan;
|
(3)
|
tumbuhnya pengakuan dari pemerintah dan masyarakat secara luas
akan pengabdian profesi kependidikan dan Kode Etik Guru Indonesia.
|
Pasal 18
Jenis Kegiatan
(1)
|
Menganjurkan kepada pemerintah dan swasta penyelenggra
pendidikan untuk memasukan materi Kode Etik Guru Indonesia khususnya di
lembaga kependidikan.
|
(2)
|
Menyelenggarakan berbagai pertemuan profesional secara individual
kelompok maupun klasikal dalam membahas dan mengkaji berbagai aspek Etika
Guru.
|
(3)
|
Menyebarluaskan informasi secara tertulis melalui majalah suara
guru dan yang lainnya tentang Kode Etik Guru Indonesia terhadap calon guru
dan guru serta tenaga kependidikan lainnya.
|
(4)
|
Menyelenggarakan berbagai kegiatan lainnya yang dinilai tidak
mengikat dan dapat mencapai pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru
Indonesia baik di lingkungan kependidikan maupun di pemerintahan dan
masyarakat.
|
Pasal 19
Materi Pemasyarakatan dan Pembinaan
(1)
|
Kode Etik Guru Indonesia.
|
(2)
|
Lapal pengucapan janji dan sumpah guru dan tenaga kependidikan
lainnya.
|
(3)
|
Hukum, aturan dan ketentuan yang ada kaitannya dengan
kependidikan.
|
(4)
|
Status guru.
|
(5)
|
Materi-materi lain yang dapat dinilai menunjang terhadap
tercapainya permasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia.
|
Pasal 20
Pelaksanaan Kegiatan
(1)
|
Kegiatan pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia
dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Guru, dengan jalan bahwa pengurus pusat
bertanggung jawab untuk menetapkan garis-garis besar pemasyarakatan dan
pembinaan (GBPP) untuk dijabarkan dan dikoordinasikan pelaksanaannya di
daerah.
|
(2)
|
Dalam melaksanakan pemasyarakatan dan pembinaan seperti ayat
satu di atas, maka Dewan Kehormatan Guru dapat bekerja sama dengan pengurus
PGRI, mitra pendidikan, dan instansi pemerintah dan kemasyarakatan lainnya,
yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Pengurus PGRI.
|
BAB IV
PENANGANAN PELANGGARAN KODE ETIK GURU INDONESIA
Pasal 21
T u j u a n
(1)
|
Memecahkan berbagai masalah pelanggaran terhadap Kode Etik Guru
Indonesia baik berasal dari komponen pemerintah, masyarakat,
atau guru dan tenaga kependidikan lainnya.
|
(2)
|
Menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh guru dan tenaga
kependidikan lainnya sebagai pelaksana pengabdian profesi guru dan tenaga
kependidikan lainnya; serta bagi seluruh komponen masyarakat sebagai pemakai
jasa pelayanan kependidikan.
|
Pasal 22
Sasaran yang ingin dicapai
(1)
|
Menangani berbagai perilaku yang menyimpang dari Kode Etik Guru
Indonesia yang dilakukan oleh guru dan tenaga kependidikan lainnya sewaktu
melaksanakan pengabdian profesi kependidikan.
|
(2)
|
Penanganan penyimpangan seperti dimaksud dalam ayat satu di atas
baru dapat dilakukan apabila terjadi pengaduan, ada permintaan
dari Pengurus PGRI dan atau DKGI menduga terjadi adanya pelanggaran terhadap
Kode Etik Guru Indonesia.
|
Pasal 23
Proses Pengaduan
(1)
|
Para pihak yang menemukan terjadinya pelanggaran terhadap Kode
Etik Guru Indonesia dapat mengajukan melalui surat pengaduan kepada DKGI
tempat terjadinya masalah tersebut.
|
(2)
|
Apabila di daerah kejadian tersebut belum ada DKGI Kab/Kot maka
surat pengaduan diajuakan ke DKGI Provinsi, dan apabila juga belum ada, maka
bisa diajuka ke DKGI pusat.
|
(3)
|
Surat pengajuan pengaduan dianggap sah apabila diajukan secara
tertulis dan dilengkapi dengan berbagai identitas pengaduan yang diajukan dan
bukti-bukti yang memperkuat dan menunjang terhadap pengaduan yang diajukan
tersebut.
|
(4)
|
Surat pengajuan pengaduan dianggap tidak sah apabila diajukan
tidak dilengkapi/disertai dengan bukti-bukti yang cukup, dan identitas yang
selayaknya dijelaskan, serta waktu kejadian tersebut sudah melewati waktu dua
setengah tahun atau lebih.
|
(5)
|
Apabila surat pengaduan pertama kali bukan diterima oleh
pengurus DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/kota, maka paling lambat dua minggu
setelah diterimanya surat pengaduan tersebut harus segera diteruskan kepada
DKGI Kabupaten/kota dimana terjadinya kejadian tersebut diajukan.
|
(6)
|
Apabila DKGI dimana terjadinya kejadian pengajuan belum
terbentuk, maka surat pengaduan sebagaimana ayat 5 di atas harus diteruskan
kepada DKGI PGRI Provinsi, begitupun bagi DKGI PGRI Provinsi yang belum
terbentuk, maka pengajuannya harus diteruskan kepada DKGI pusat.
|
Pasal 24
Pengkajian
(1)
|
Setiap pengajuan yang diajukan karena pelanggaran terhadap Kode
Etik Guru Indonesia harus dikaji terlebih dahulu secara berhati-hati dan
seksama dengan prinsip penanganan berdasarkan asas praduga tak bersalah.
|
||
(2)
|
Kegiatan pengkajian sebagaimana ayat satu di atas untuk tahap
pertama menjadi tugas dan wewenang pengurus DKGI PGRI Kabupaten/kota dengan
langkah-langkah kegiatan sebagai berikut :
|
||
a.
|
mempelajari identitas pengaduan yang diajukan;
|
||
b.
|
mempelajari berkas-berkas sebagai bukti tertulis yang diajukan;
|
||
c.
|
mengambil kesimpulan sementara absah dan tidaknya surat
pengaduan tersebut;
|
||
d.
|
mempelajari masalah lebih dalam dan luas lagi, dengan cara :
|
||
|
1)
|
mengundang pengadu dan yang diadukan secara terpisah untuk
sama-sama melengkapi dan memberi penjelasan tentang duduk permasalahan
sebenarnya;
|
|
|
2)
|
mengundang saksi dari para pihak secara terpisah apabila ada dan
diajukan untuk sama-sama meminta informasi dalam memperjelas masalah yang
diajukan;
|
|
|
3)
|
melakukan kunjungan ke tempat terjadinya kejadian untuk
memperoleh keterangan yang lebih jelas dan akurat, ataupun hubungannya dengan
benda-benda atau barang-barang bukti yang sifatnya tidak bisa dipindahkan;
dan
|
|
|
4)
|
apabila diperlukan maka diperbolehkan mengundang pihak-pihak
tertentu yang sesuai dengan masalah yang diajukan untuk dijadikan saksi ahli;
|
|
e.
|
melakukan sidang DKGI secara lengkap untuk bermusyawarah dalam
menentukan persiapan sidang–sidang selanjutnya.
|
Pasal 25
Barang Bukti
(1)
|
Pada waktu pemanggilan saksi dan kunjungan-kunjungan ke tempat
kejadian, maka pada waktu itu pula dapat dimintakan untuk memperlihatkan
berbagai barang bukti, dan jika diperlukan diminta persetujuan
untuk membuat rekaman suara dan atau gambar.
|
(2)
|
Apabila pengadu dan teradu serta saksi menolak memperlihatkan
barang bukti dan pengambilan suara dan gambar sebagaimana ayat 1 (satu) di
atas, maka hal ini dapat dicatat untuk dijadikan bahan pertimbangan pada
waktu pengambilan keputusan.
|
(3)
|
DKGI tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap barang-barang
bukti yang diajukan melainkan bisa melalui pihak–pihak yang berwenang sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
|
Pasal 26
Kegiatan Pembelaan
(1)
|
Pada waktu proses pengkajian dan sidang-sidang maka pihak teradu
memiliki hak untuk didampingi oleh pembela.
|
(2)
|
Yang dimaksud pembela adalah Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum
(LKBH) PGRI.
|
(3)
|
Hak yang dimiliki tersebut harus terlebih dahulu dikemukakan
jauh sebelum sidang dimulai.
|
(4)
|
Mengingat sifat kejadian yang ditangani menyangkut etika guru
sangat khusus dan lebih pelik, maka dibenarkan dan berhak untuk didampingi
pembela dari luar dapat dipertimbangkan, apabila yang dimintakan teradu
adalah pembela berasal dari luar LKBH PGRI.
|
Pasal 27
Penunjukan Saksi Ahli
(1)
|
Apabila dalam penanganan kejadian pelanggaran Kode Etik Guru
Indonesia dimaksud diperlukan adanya saksi ahli, maka dapat dimintai
kehadirannya dalam setiap sidang dalam forum DKGI.
|
(2)
|
Penunjuk saksi ahli menjadi wewenang sepenuhnya dari DKGI.
|
(3)
|
Saksi ahli tahap pertama harus diambil dari lingkungan
organisasi PGRI beserta seluruh kelengkapan perangkat organisasi, namun
apabila tidak ada maka dapat diminta di luar organisasi PGRI.
|
Pasal 28
Kegiatan Persidangan
(1)
|
Tata cara persidangan DKGI di daerah harus sesuai dengan tata
cara yang ditentukan DKGI pusat; (tata cara ini akan diminta penjelasan dari
ketua LKBH PB PGRI).
|
(2)
|
Apabila teradu menginginkan bantuan dan memanfaatkan jasa dari
LKBH PGRI maka LKBH PGRI tersebut harus memberitahukan kepada LKBH PGRI
Propvinsi dan LKBH PGRI Pusat.
|
(3)
|
Apabila pengkajian telah selesai dilakukan maka sebelum diambil
keputusan hendaknya LKBH PGRI diberikan kesempatan mengemukakan pendapatnya
tentang kejadian yang sedang di kaji.
|
Pasal 29
Pengambilan Keputusan
(1)
|
Tata cara pengambilan keputusan dalam sidang-sidang DKGI
Provinsi dan atau Kabupaten/Kota harus sesuai dengan yang ditentukan DKGI
pusat; (ketentuan hal ini akan minta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
|
|
(2)
|
Keputusan yang diambil oleh DKGI dalam penanganan pelanggaran
Kode Etik Guru Indonesia harus menyatakan dengan jelas bersalah atau tidak
bersalah bagi teradu.
|
|
(3)
|
Keputusan sebagaimana ayat dua di atas harus dibedakan antara
kesalahan ringan, sedang, dan berat.
|
|
(4)
|
Penetapan kategori kesalahan hendaknya didasarkan kepada
kriteria sebagai berikut :
|
|
a.
|
akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi; keselamatan
guru dan tenaga kependidikan lainnya;
|
|
b.
|
itikad yang ditunjukan cukup baik pihak teradu dalam membantu
menyelesaikan persoalan dimaksud; serta dorongan yang mendasari tumbuhnya
kejadian yang bisa dipertimbangkan;
|
|
c.
|
kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi tumbuhnya kejadian;
serta pendapat dan pandangan LKBH PGRI;
|
|
(5)
|
Apabila kejadian yang dimaksud menyangkut pelanggaran hukum dan
masalah tersebut sedang dalam proses hukum, maka hendaknya keputusan DKGI
ditunda sampai dengan keputusan hukum tersebut.
|
|
(6)
|
DKGI harus mampu mencegah tumbuhnya proses hukum di pengadilan
dengan upaya persidangan di DKGI tersebut.
|
Pasal 30
Pemberian Sanksi
(1)
|
DKGI merekomendasikan pemberian sanksi kepada badan pimpinan
organisasi PGRI yang setingkat dengan DKGI dan diteruskan kepada PB PGRI
untuk disampaikan kepada instansi pemerintah dan penyelenggara pendidikan
yang terkait.
|
(2)
|
Dalam hal sanksi yang langsung berhubungan dengan keanggotaan
pada PGRI, maka PB PGRI dapat mencabut keanggotaan guru atau tenaga
kependidikan tersebut bila DKGI memutuskan demikian.
|
(3)
|
Sanksi yang diberikan akan tergantung kepada berat dan ringannya
kesalahan yang dilakukan oleh pihak tertentu.
|
(4)
|
Sanksi yang diberikan bisa berupa : (1) teguran; (2) peringatan
tertulis; (3) penundaan pemberian hak; (4) penurunan pangkat; dan (5)
pemberhentian dengan hormat; atau (6) pemberhentian tidak dengan hormat.
|
(5)
|
Kalau keputusan oleh Instansi terkait berupa pemberhentian
dengan hormat atau tidak hormat maksudnya adalah dalam waktu sementara
melalui waktu yang telah ditentukan, dan pada masa ini diadakannya pembinaan
dari pihak DKGI.
|
(6)
|
Apabila selama waktu pemberhentain sementara, tidak terjadi
perbaikan-perbaikan, maka akan ditetapkan pemecatan dan pemberhentian dari
anggota/pengurus PGRI, yang diikuti dengan penyampaian rekomendasi kepada
Instansi Departemen Pendidikan Nasional untuk diadakan tindakan seperlunya.
|
(7)
|
Keputusan tentang pemecatan dan pemberhentian tetap dikirimkan
kepada pengurus PGRI/DKGI PGRI Provinsi maupun PB PGRI.
|
Pasal 31
Banding
(1)
|
Apabila kedua belah pihak antara pengadu dan teradu merasa tidak
puas atas keputusan yang telah ditetapkan DKGI, maka keduanya bisa menyatakan
untuk mengajukan naik banding.
|
(2)
|
Naik banding sebagaimana ayat satu di atas merupakan tahap awal
yang harus ditujukan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitu pula selanjutnya bisa
naik banding tahap yang kedua yang ditujukan ke tingkat DKGI Pusat.
|
(3)
|
Tata cara pengakajian dan pengambilan keputusan pada pelaksanaan
sidang-sidang pada dasarnya sama antara DKGI PGRI Provinsi dan atau
Kabupaten/kota dengan di pusat.
|
(4)
|
Keputusan yang diambil DKGI Pusat pada dasarnya merupakan
keputusan final dan mengikat yang tidak bisa diganggu gugat, kecuali
datangnya keputusan lain melalui Kongres PGRI.
|
Pasal 32
Perbaikan dan Pemulihan
(1)
|
Perbaikan dan pemulihan akan dilakukan apabila ternyata penerima
sanksi dinyatakan tidak bersalah; atau telah menjalani sanksinya sesuai
keputusan DKGI.
|
(2)
|
Bagi pihak penerima sanksi sebagaimana ayat 1 (satu) di atas
akan segera dikeluarkan perbaikan dan pemulihan yang disertai permintaan maaf
kepada penerima sanksi tersebut.
|
(3)
|
Surat perbaikan dan pemulihan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di
atas disampaikan kepada penerima sanksi, instansi tempat bekerja, serta
kepada masyarakat secara umum.
|
(4)
|
Penerbitan surat keputusan perbaikan dan pemulihan dilakukan
oleh Pengurus PGRI dimana masalah tersebut ditangani dengan tembusan kepada
pengurus PGRI yang lebih tinggi dan yang dibawahnya termasuk pula kepada DKGI
yang bersangkutan.
|
Pasal 33
Administrasi
(1)
|
Setiap surat pengaduan dan identitas pengadu diperlakukan sebagai
surat rahasia dan jika dianggap perlu untuk dirahasiakan.
|
(2)
|
Pemanggilan terhadap pengadu, teradu, dan saksi harus dilakukan
secara tertulis dan paling banyak 3 kali pemanggilan.
|
(3)
|
Apabila pemanggilan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas ada yang
tidak datang dan tanpa alasan yang sah, maka penanganan masalah tersebut
harus dilanjutkan tanpa kehadirannya.
|
(4)
|
Dalam hal minta keterangan terhadap pengadu, teradu, dan saksi
oleh DKGI tidak diawali dengan pengambilan sumpah, akan tetapi hanya dengan
surat pernyataan.
|
(5)
|
Surat dimaksudkan secara tertulis yang dibuat dan ditandatangani
di atas materai yang cukup di depan DKGI yang berisi bahwa keterangan yang
akan diberikan adalah benar.
|
(6)
|
Apabila pihak-pihak tersebut sebagaimana ayat 4 (empat) di atas
tidak bersedia atau menolak membuat atau menandatangani surat dimaksud, maka
akan menjadi catatan khusus sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
keputusan.
|
(7)
|
Semua keterangan, barang bukti dan hal-hal lainnya yang
berhubungan dengan sidang-sidang DKGI harus dibukukan dan didokumentasikan
secara lengkap dan sempurna serta menjadi milik PGRI. Data-data tersebut
sangat tidak dibenarkan untuk diketahui oleh pihak ketiga atau pihak lain,
kecuali dinyatakan lain oleh ketentuan perundang-undangan dan diminta oleh
Negara.
|
BAB V
PENUTUP
Pasal 34
Penutup
Hal-hal lain yang belum
diatur dalam ketentuan ini akan diatur tersendiri oleh DKGI.
***
0 komentar:
Posting Komentar