BAGIAN DUA Sumpah/Janji Guru Indonesia




ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Prof. Sulistyo menyatakan, Kode Etik Guru Indonesia (KEGI) akan resmi berlaku mulai 1 Januari 2013. Kode etik ini akan mengikat seluruh guru di Indonesia dan mengatur beberapa hal seperti hubungan antara guru dengan peserta didik, orang tua, masyarakat, teman sejawat, dan organisasi profesi. Kode etik guru itu sudah disepakati oleh pemerintah.
“Guru yang dalam pelaksanaan tugas dan pengabdiannya menyalahi kode etik, akan diberi sanksi tegas sesuai dengan draf kode etik yang berlaku,” kata Sulistyo di sela-sela ASEAN Council of Teacher Convention ke-28 di Sanur, Bali, Sabtu 8 Desember 2012.
Sulistyo menjelaskan, sesuai kajian yang dilakukan oleh tim ahli, butir-butir kode etik itu memiliki relevansi dengan kondisi terkini dan sangat sesuai dengan kompentensi pedagogik dan profesional seorang guru. Semua guru tanpa kecuali harus mentaati kode etik tersebut.
Untuk menunjang penerapan kode etik guru ini, saat ini sudah dibentuk Dewan Kehormatan Guru di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. “Jadi bila seorang guru melanggar kode etik, maka laporannya harus ditujukan ke dewan kehormatan tersebut,” kata Sulistyo. Namun, walau sudah memiliki kode etik, bila ada oknum guru yang melakukan kriminalitas, maka sanksi hukumnya tetap berlaku menurut hukum pidana atau perdata. Kode etik hanya mengatur pelanggaran dalam koridor profesi seseorang sebagai guru.
Kode etik guru diyakini terkait erat dengan mutu guru dan pendidikan di Indonesia. “Jurnalis punya kode etik jurnalis, dokter punya kode etik kedokteran. Demikian juga para guru perlu ada kode etiknya. Tidak ada pendidikan yang bermutu kalau gurunya tidak bermutu,” ujar Sulistyo sebagaimana dilansir news.viva.co.id.
Berikut saya kutipkan secara utuh Kode Etik Guru Indonesia serta Dewan Kehormatan dan Prosedur Operasional Kode Etik Guru Indonesia dari laman www.pgri.or.id.
KODE ETIK GURU INDONESIA
PEMBUKAAN
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa guru Indonesia menyadari bahwa jabatan guru adalah suatu profesi yang terhormat dan mulia. Guru mengabdikan diri dan berbakti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab.
Guru Indonesia selalu tampil secara profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru Indonesia memiliki kehandalan yang tinggi sebagai sumber daya utama untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Guru Indonesia adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh peserta didik, yang dalam melaksankan tugas berpegang teguh pada prinsip “ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip tersebut guru Indonesia ketika menjalankan tugas-tugas profesionalnya dituntut memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Guru Indonesia bertanggung jawab mengantarkan siswanya untuk mencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin bangsa pada semua bidang kehidupan. Untuk itu, pihak-pihak yang berkepentingan selayaknya tidak mengabaikan peranan guru dan profesinya, agar bangsa dan negara dapat tumbuh sejajar dengan dengan bangsa lain di negara maju, baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kondisi seperti itu bisa mengisyaratkan bahwa guru dan profesinya merupakan komponen kehidupan yang dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini sepanjang zaman. Hanya dengan pelaksanaan tugas guru secara profesional hal itu dapat diwujudkan eksitensi bangsa dan negara yang bermakna, terhormat dan dihormati dalam pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia ini.
Peranan guru semakin penting dalam era global. Hanya melalui bimbingan guru yang profesional, setiap siswa dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif dan produktif sebagai aset nasional dalam menghadapi persaingan yang makin ketat dan berat sekarang dan dimasa datang.
Dalam melaksanakan tugas profesinya guru Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa perlu ditetapkan Kode Etik Guru Indonesia sebagai pedoman bersikap dan berperilaku yang mengejewantah dalam bentuk nilai-nilai moral dan etika dalam jabatan guru sebagai pendidik putera-puteri bangsa.
BAGIAN SATU
Pengertian, Tujuan, dan Fungsi
Pasal 1
(1)
Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru-guru Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.
(2)
Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud pasa ayat (1) pasal ini adalah nilai-nilai moral yang membedakan perilaku guru yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas-tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, serta pergaulan sehari-hari di dalam dan di luar sekolah.

Pasal 2
(1)
Kode Etik Guru Indonesia merupakan pedoman sikap dan perilaku bertujuan menempatkan guru sebagai profesi terhormat, mulia, dan bermartabat yang dilindungi undang-undang.
(2)
Kode Etik Guru Indonesia berfungsi sebagai seperangkat prinsip dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru dalam hubungannya dengan peserta didik, orangtua/wali siswa, sekolah dan rekan seprofesi, organisasi profesi, dan pemerintah sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika, dan kemanusiaan.

BAGIAN DUA
Sumpah/Janji Guru Indonesia
Pasal 3
(1)
Setiap guru mengucapkan sumpah/janji guru Indonesia sebagai wujud pemahaman, penerimaan, penghormatan, dan kesediaan untuk mematuhi nilai-nilai moral yang termuat di dalam Kode Etik Guru Indonesia  sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
(2)
Sumpah/janji guru Indonesia diucapkan di hadapan pengurus organisasi profesi guru dan pejabat yang berwenang di wilayah kerja masing-masing.
(3)
Setiap pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dihadiri oleh penyelenggara satuan pendidikan.

Pasal 4
(1)
Naskah sumpah/janji guru Indonesia dilampirkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Kode Etik Guru Indonesia.
(2)
Pengambilan sumpah/janji guru Indonesia dapat dilaksanakan secara perorangan atau kelompok sebelum melaksanakan tugas.

BAGIAN TIGA
Nilai-nilai Dasar dan Nilai-nilai Operasional
Pasal 5
Kode Etik Guru Indonesia bersumber dari:
(1)
Nilai-nilai agama  dan Pancasila.
(2)
Nilai-nilai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
(3)
Nilai-nilai jatidiri, harkat, dan martabat manusia yang meliputi perkembangan kesehatan jasmaniah. emosional, intelektual, sosial, dan spiritual,

Pasal 6

(1)
Hubungan Guru dengan Peserta Didik:

a.
Guru berprilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.

b.
Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan hak-hak dan kewajibannya sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat.

c.
Guru mengakui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual  dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.

d.
Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.

e.
Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.

f.
Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.

g.
Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.

h.
Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.

i.
Guru menjunjung tinggi harga diri,  integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.

j.
Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.

k.
Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.

l.
Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.

m.
Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar, menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.

n.
Guru tidak membuka rahasia pribadi peserta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.

o.
Guru tidak menggunakan hubungan dan tindakan profesionalnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.

p.
Guru tidak menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.

(2)
Hubungan Guru dengan Orangtua/Wali Murid:

a.
Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan orangtua/wali siswa dalam melaksanakan proses pendidikan.

b.
Guru memberikan informasi kepada orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai perkembangan peserta didik.

c.
Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan orangtua/walinya.

d.
Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk beradaptasi dan berpartisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan.

e.
Guru bekomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya.

f.
Guru menjunjung tinggi hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasi denganya berkaitan dengan kesejahteraan, kemajuan, dan cita-cita  anak atau anak-anak akan pendidikan.

g.
Guru tidak melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.

(3)
Hubungan Guru dengan Masyarakat :

a.
Guru menjalin  komunikasi dan kerjasama yang harmonis, efektif, dan efisien dengan masyarakat untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan.

b.
Guru mengakomodasikan aspirasi masyarakat dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan dan pembelajaran.

c.
Guru peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

d.
Guru bekerjasama secara arif dengan masyarakat untuk meningkatkan prestise dan martabat profesinya.

e.
Guru melakukan semua usaha untuk secara bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif dalam pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan peserta didiknya.

f.
Guru mememberikan pandangan profesional, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, hukum, moral, dan kemanusiaan dalam berhubungan dengan masyarakat.

g.
Guru tidak membocorkan rahasia sejawat dan peserta didiknya kepada masyarakat.

h.
Guru tidak menampilkan diri secara ekslusif dalam kehidupan bermasyarakat.

(4)
Hubungan Guru dengan Sekolah dan Rekan Sejawat:

a.
Guru memelihara dan meningkatkan kinerja, prestasi, dan reputasi sekolah.

b.
Guru memotivasi diri dan rekan sejawat secara aktif dan kreatif dalam melaksanakan proses pendidikan.

c.
Guru menciptakan suasana sekolah yang kondusif.

d.
Guru menciptakan suasana kekeluargaan di didalam dan luar sekolah.

e.
Guru menghormati rekan sejawat.

f.
Guru saling membimbing antarsesama rekan sejawat.

g.
Guru menjunjung tinggi martabat profesionalisme dan hubungan kesejawatan dengan standar dan kearifan profesional.

h.
Guru  dengan berbagai cara harus membantu rekan-rekan juniornya untuk tumbuh secara profesional dan memilih jenis pelatihan yang relevan dengan tuntutan profesionalitasnya.

i.
Guru menerima otoritas kolega seniornya untuk mengekspresikan pendapat-pendapat profesional berkaitan dengan tugas-tugas pendidikan dan pembelajaran.

j.
Guru membasiskan-diri pada nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan dalam setiap tindakan profesional dengan sejawat.

k.
Guru memiliki beban moral untuk bersama-sama dengan sejawat meningkatkan keefektifan pribadi sebagai guru dalam menjalankan tugas-tugas profesional pendidikan dan pembelajaran.

l.
Guru mengoreksi tindakan-tindakan sejawat yang menyimpang dari kaidah-kaidah agama, moral, kemanusiaan, dan martabat profesionalnya.

m.
Guru tidak mengeluarkan pernyataan-keliru berkaitan dengan kualifikasi dan kompetensi  sejawat atau calon sejawat.

n.
Guru tidak melakukan  tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan marabat pribadi dan profesional sejawatnya.

o.
Guru tidak mengoreksi tindakan-tindakan profesional sejawatnya atas dasar pendapat siswa atau masyarakat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

p.
Guru tidak membuka rahasia pribadi sejawat kecuali untuk pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilegalkan secara hukum.

q.
Guru tidak menciptakan kondisi atau bertindak yang langsung atau tidak langsung akan memunculkan konflik dengan sejawat.

(5)
Hubungan Guru dengan Profesi :

a.
Guru menjunjung tinggi jabatan guru sebagai sebuah profesi.

b.
Guru berusaha mengembangkan dan memajukan disiplin ilmu pendidikan dan mata pelajaran yang diajarkan.

c.
Guru terus menerus meningkatkan kompetensinya.

d.
Guru menunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas profesional dan bertanggungjawab atas konsekuensinya.

e.
Guru menerima tugas-tugas sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya.

f.
Guru tidak melakukan  tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat profesionalnya.

g.
Guru tidak menerima janji, pemberian, dan pujian yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan-tindakan profesionalnya.

h.
Guru tidak mengeluarkan pendapat dengan maksud menghindari tugas-tugas dan tanggungjawab yang muncul akibat kebijakan baru di bidang pendidikan dan pembelajaran.

(6)
Hubungan Guru dengan Organisasi Profesinya :

a.
Guru menjadi anggota organisasi profesi guru dan berperan serta secara aktif dalam melaksanakan program-program organisasi bagi kepentingan kependidikan.

b.
Guru memantapkan dan memajukan organisasi profesi guru yang memberikan manfaat bagi kepentingan kependidikan.

c.
Guru aktif mengembangkan organisasi profesi guru agar menjadi pusat informasi dan komunikasi pendidikan untuk kepentingan guru dan masyarakat.

d.
Guru menunjung tinggi tindakan dan pertimbangan pribadi dalam menjalankan tugas-tugas organisasi profesi dan bertanggungjawab atas konsekuensinya.

e.
Guru menerima tugas-tugas organisasi profesi sebagai suatu bentuk tanggungjawab, inisiatif individual, dan integritas dalam tindakan-tindakan profesional lainnya.

f.
Guru tidak melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang dapat merendahkan martabat dan eksistensi organisasi profesinya.

g.
Guru tidak mengeluarkan pendapat dan bersaksi palsu untuk memperoleh keuntungan pribadi dari organisasi profesinya.

h.
Guru tidak menyatakan keluar dari keanggotaan sebagai organisasi profesi tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

(7)
Hubungan Guru dengan Pemerintah:

a.
Guru memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan program pembangunan bidang pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, dan ketentuan perundang-undangan lainnya.

b.
Guru membantu program pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan yang berbudaya.

c.
Guru berusaha menciptakan, memelihara dan meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

d.
Guru tidak menghindari kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah atau satuan pendidikan untuk kemajuan pendidikan dan pembelajaran.

e.
Guru tidak melakukan tindakan pribadi atau kedinasan yang berakibat pada kerugian negara.

BAGIAN EMPAT
Pelaksanaan, Pelanggaran, dan Sanksi
Pasal 7
(1)
Guru dan organisasi profesi guru bertanggungjawab atas pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia.
(2)
Guru dan organisasi  guru berkewajiban mensosialisasikan Kode Etik Guru Indonesia kepada rekan sejawat, penyelenggara pendidikan, masyarakat, dan pemerintah.
Pasal 8
 (1)
Pelanggaran adalah perilaku menyimpang dan atau tidak melaksanakana Kode Etik Guru Indonesia dan ketentuan perundangan yang berlaku yang berkaitan dengan profesi guru.
(2)
Guru yang melanggar Kode Etik Guru Indonesia dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
(3)
Jenis pelanggaran meliputi pelanggaran ringan, sedang, dan berat.
Pasal 9
(1)
Pemberian rekomendasi sanksi terhadap guru yang melakukan pelanggaran terhdap Kode Etik Guru Indonesia menjadi wewenang Dewan  Kehormatan Guru Indonesia.
(2)
Pemberian sanksi oleh Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.
(3)
Rekomendasi Dewan Kehormatan Guru Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi guru.
(4)
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan upaya pembinaan kepada guru yang melakukan pelanggaran dan untuk menjaga harkat dan martabat profesi guru.
(5)
Siapapun yang mengetahui telah terjadi pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia wajib melapor kepada Dewan Kehormatan Guru Indonesia, organisasi profesi guru, atau pejabat yang berwenang.
(6)
Setiap pelanggar dapat melakukan pembelaan diri dengan/atau tanpa bantuan organisasi profesi guru dan/atau penasihat hukum sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan dihadapan Dewan Kehormatan Guru Indonesia.
Bagian Lima
Ketentuan Tambahan
Pasal 10
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi Kode Etik Guru Indonesia dan peraturan perundang-undangan.
Bagian Enam
Penutup
Pasal 11
(1)
Setiap guru harus secara sungguh-sungguh menghayati, mengamalkan, serta menjunjung tinggi Kode Etik Guru Indonesia.
(2)
Guru yang belum menjadi anggota organisasi profesi guru harus memilih organisasi profesi guru yang pembentukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dewan Kehormatan Guru Indonesia menetapkan sanksi kepada guru yang telah secara nyata melanggar Kode Etik Guru Indonesia.
***
(Sumber: www.pgri.or.id)
DEWAN KEHORMATAN
 DAN
PROSEDUR OPERASIONAL KODE ETIK GURU INDONESIA
BAB I
 KETENTUAN UMUM
Pasal 1
 Pengertian
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
(1)
Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI) adalah perangkat kelengkapan organisasi PGRI yang dibentuk untuk menjalankan tugas dalam memberikan saran, pendapat, pertimbangan, penilaian, penegakkan, dan pelanggaran disiplin organisasi dan etika profesi guru.
(2)
Peraturan tentang Dewan Kehormatan Guru Indonesia adalah pedoman pokok dalam mengelola Dewan Kehormatan Guru Indonesia, dalam hal penyelenggaraan tugas dan wewenang bimbingan, pengawasan, dan penilaian Kode Etik Guru Indonesia.
(3)
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
(4)
Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
(5)
Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.
(6)
Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
(7)
Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh guru sebagai pedoman sikap perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.
(8)
Penanganan dan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia, adalah pedoman pokok dalam penanganan pelanggaran bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya terhadap etika guru yang telah ditetapkan.

BAB II
KEORGANISASIAN
 Pasal 2
Keorganisasian DKGI
Keorganisasian Dewan Kehormatan Guru Indonesia merupakan peraturan atau pedoman pelaksanaan yang dijabarkan dari Anggaran Dasar (AD) PGRI BAB XVII pasal 30, dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PGRI BAB XXVI pasal 92 tentang Majelis Kehormatan Organisasi dan Kode Etik profesi, dalam rangka penegakan disiplin etik guru.
Pasal 3
Tata Cara Pembentukan 
(1)
Dewan Kehormatan Guru Indonesia berada di tingkat pusat, tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, yang di bentuk oleh badan pimpinan organisasi PGRI yang bersangkutan.
(2)
Dewan Kehormatan Guru Indonesia tingkat pusat di sebut sebagai DKGI  Pusat, pada tingkat Provinsi di sebut DGKI Provinsi, dan pada Kabupaten/kota di sebut DKGI Kabupaten/Kota.
(3)
Pembentukan DKGI hanya dibenarkan jika di daerah tersebut telah ada pengurus PGRI tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota : yang masing-masing disebut pengurus Provinsi dan Kabupaten/kota.
(4)
Pembentukan DKGI pusat dilakukan oleh Konfrensi pusat (Konpus) PGRI, sedangkan pembentukan di  provinsi dan Kabupaten/kota, masing-masing melalui Konfrensi Kerja Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(5)
Untuk kepentingan pertimbangan khusus dalam pengesahan organisasi DKGI  dimaksud dari pengurus besar PGRI sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 diatas, pengurus PGRI Propinsi dan atau Kabupaten/kota harus mengirimkan informasi tentang :

a.
Data organisasi dan anggota secara lengkap dan menyeluruh.

b.
Hal-hal lain yang berkaitan dengan urgensi pembentukan DKGI dimaksud.
Pasal 4
Status
(1)
Status DKGI adalah perangkat kelengkapan organisasi  PGRI, sehingga keputusannya merupakan keputusan pengurus PGRI.
(2)
Status DKGI Pusat maupun Provinsi dan atau Kabupaten/Kota dalam organisasi PGRI adalah sebagai badan otonom, dalam pengertian bahwa segala keputusannya yang diambil tidak bisa dipengaruhi pengurus PGRI atau badan-badan yang lainnya.
(3)
Untuk menjamin kenetralan sikap dan keputusan yang akan ditetapkan maka penyelenggaraan tugas dan wewenangnya harus dilakukan secara terpisah dari pengelolaan berbagai perangkat kelengkapan organisasi PGRI lainnya.
(4)
Pengelolaan tugas dan wewenang DKGI harus terpisah dari tugas dan wewenang Pengurus Besar PGRI dan begitupun selanjutnya sampai ke Provinsi dan atau Kabupaten/Kota.
Pasal 5
Kedudukan
(1)
Kedudukan DKGI pusat berada di tempat kedudukan Pengurus Besar PGRI dan begitupun di tingkat Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(2)
Wilayah kerja DKGI adalah wilayah kerja organisasi PGRI yang setingkat dengan tingkatan dari organisasi PGRI di maksud.
(3)
Apabila pengurus PGRI Provinsi belum terbentuk dan karena itu DKGI belum bisa terbentuk maka tugas kerja daerah tersebut dijabat oleh pengurus daerah PGRI terdekat, begitupun dengan  PGRI Kabupaten/kota.
(4)
Fungsi dan tugas DKGI di tingkat Cabang dan Ranting PGRI menjadi tanggung jawab Pengurus PGRI Kabupaten/kota.
(5)
Pelimpahan tugas sebagaimana disebut dalam ayat 3 di atas ditetapkan melaui Surat Keputusan pengurus Besar PGRI khusus untuk PGRI Provinsi, dan dari pengurus PGRI Provinsi untuk PGRI Kabupaten/kota.
Pasal 6
Susunan Pengurus
(1)
Susunan keanggotaan DKGI terdiri dari unsur Dewan Penasehat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan Keahlian Sejenis, dan yang lainnya sesuai dengan keperluan.
(2)
Susunan pengurus DKGI sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan 5 anggota dengan jumlah seluruhnya paling banyak 10 orang untuk pusat, dan sebanyak-banyaknya 7 orang untuk daerah.
(3)
Susunan anggota DKGI terdiri dari unsur Dewan Pesehat, Badan Pimpinan Organisasi, Himpunan Profesi dan keahlian Sejenis dan yang lainnya yang terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda baik profesi maupun pengalamannya misalnya pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan dan lainnya.
(4)
Jika diperlukan maka Keanggotaan DKGI bisa saja ditambah sebanyak 3 orang anggota tidak tetap, yang penunjukkannya atas dasar keperluan terhadap keahlian tertentu sesuai dengan kasus atau permasalahan yang ditangani.
(5)
Selama menangani masalah, maka anggota DKGI tidak tetap sebagaimana ayat 4 di atas pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota tetap lainnya.
(6)
Masa jabatan anggota DKGI  tidak tetap segera berakhir apabila masalah yang ditangani sudah selesai berdasarkan berbagai sisi norma dan ketentuan yang ada.
Pasal 7
Tata Cara Penyusunan Pengurus dan Anggota
(1)
Ketua DKGI Pusat dipilih melalui Konfrensi Pusat PGRI, dan ketua di Provinsi dan atau Kabupaten/Kota melalui Konferensi Kerja PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota.
(2)
Ketua DKGI terpilih selaku formatur tunggal dan atas dasar masukan dari pengurus PGRI berkewajiban untuk segera menunjuk, mengangkat dan menetapkan sekertaris, bendahara dan anggota secara lengkap.
(3)
Sebelum DKGI menjalankan fungsi dan tugasnya maka ketua DKGI memberitahukan terlebih dahulu kepada pengurus PGRI tentang susunan pengurus secara resmi dan lengkap.
(4)
Penunjukkan, pengangkatan dan pengesahan anggota DKGI tidak tetap dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah dengan pengurus dan konsultasi dengan pengurus PGRI.
(5)
Apabila salah seorang anggota DKGI meninggal dunia atau mengundurkan diri atau karena suatu hal diberhentikan sebagai anggota maka penggantiannya dilakukan oleh ketua DKGI atas musyawarah seperti ayat tersebut di atas.
(6)
Pemberhentian terhadap anggota DKGI hanya dilakukan apabila yang bersangkutan dinilai melanggar aturan yang ditentukan dan tidak lagi sesuai dengan syarat-syarat sebagai pengurus atau anggota DKGI.

Pasal 8
Syarat-Syarat Pengurus dan Anggota
Syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh seseorang untuk dapat dipilih, diangkat, atau ditunjuk menjadi pengurus atau anggota DKGI adalah guru dan tenaga kependidikan lainnya yang di yakini:
(1)
 Beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(2)
Berjiwa nasionalisme yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
(3)
Memiliki kepribadian yang dapat diterima dan disegani serta memiliki kredibilitas profesi kependidikan yang cukup tinggi.
(4)
Loyalitas yang tinggi terhadap organisasi PGRI, peka terhadap perkembangan permasalahan yang muncul di lingkungan kependidikan dan maupun kemasyarakatan.
(5)
Menguasai masalah Kependidikan, guru dan tenaga kependidikan.
(6)
Bersih, jujur, adil, sabar, terbuka dan berwibawa.
Pasal 9
Masa Jabatan Pengurus
(1)
Masa jabatan kepengurusan DKGI sama dengan masa jabatan pengurus PGRI yaitu selama 5 tahun.
(2)
Masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam ayat satu di atas segera berlaku setelah adanya pengesahan secara keorganisasian dari Pengurus Besar PGRI, dan pengesahan kepengurusan dari Pengurus PGRI yang ada pada daerah tersebut.
Pasal 10
 Tugas dan Wewenang
Sesuai dengan AD PGRI BAB XVII pasal 30 ayat 2, dan ART PGRI BAB XXVI pasal 92, maka tugas dan fungsi DKGI adalah :
(1)
memberikan saran, pendapat, dan pertimbangan tentang pelaksanaan, penegakan, pelanggaran disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia Indonesia kepada Badan Pimpinan organisasi yang membentuknya tentang:

a.
pelaksanaan bimbingan, pengawasan, penilaian dalam pelaksanaan disiplin organisasi serta Kode Etik Guru Indonesia;

b.
pelaksanaan, penegakan, dan pelanggaran disiplin organisasi yang terjadi  di wilayah kewenangannya;

c.
pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan baik oleh pengurus maupun oleh anggota serta saran dan pendapat tentang tindakan yang selayaknya dijatuhkan terhadap pelanggaran kode etik tersebut;

d.
pelaksanaan dan cara penegakan disiplin organisasi dan Kode Etik Guru Indonesia; dan,

e.
pembinaan hubungan dengan mitra organisasi di bidang penegakan serta pelanggaran disiplin organisasi serta Kode Etik Guru;
(2)
pelaksanaan tugas bimbingan, pembinaan, penegakan disipin, hubungan dan pelaksanaan Kode Etik Guru Indonesia sebagaiamana ayat-ayat di atas dilakukan bersama pengurus PGRI di segenap perangkat serta jajaran di semua tingkatan;
(3)
pelaksanaan tugas penilaian dan pengawasan pelaksanaan kode etik profesi sebagaimana ayat-ayat di atas dilakukan melalui masing-masing DKGI di semua tingkatan organisasi.

Pasal 11
Pertanggung Jawaban
DKGI Pusat bertanggung jawab kepada Pengurus Besar PGRI melalui Kongres dan Konpus PGRI; DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota bertanggung jawab kepada Pengurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota melalui Konprov/Konkerprov dan Konkab/Konkot dan atau Konkerkab/Kot di Provinsi dan atau di Kabupaten/kota.
Pasal 12
Ketentuan Persidangan
DKGI pada waktu melaksanakan tugas dan fungsinya terutama tugas penilaian dan pengawasan perlu menyelenggarakan persidangan-persidangan dengan ketentuan sebagai berikut :
 (1)
pelaksanaan persidangan DKGI akan dianggap sah apabila dihadiri lebih dari satu per dua dari jumlah anggota;
(2)
waktu dan jumlah persidangan tergantung kebutuhan, dan hasil dari seluruh persidangan akan menjadi laporan pertanggungjawaban satu tahun satu kali dalam forum organisasi yang disebut Konpus, konkerprov dan atau Konkerkab/kot PGRI, dan lima tahun sekali dalam forum Kongres dan atau Konkab/kot PGRI;
(3)
DKGI dalam melaksanakan persidangan harus bersifat tertutup, kecuali apabila dikehendaki lain, dan ditentukan seluruhnya oleh DKGI itu sendiri;
(4)
ketua DKGI menjadi pimpinan sidang, dan apabila berhalangan hadir maka penggantinya adalah wakil ketua, dan apabila masih juga berhalangan maka persidangan sementara ditunda;
(5)
sekretarias bertanggung jawab atas seluruh pencatatan dan pelaporan hasil sidang, apabila sekretaris berhalangan bisa digantikan oleh anggota yang ditunjuk pimpinan sidang yang disepakati anggota yang lainnya.

Pasal 13
Keputusan Persidanganan
(1)
Keputusan diambil atas dasar musyawarah dan mufakat; dan apabila tidak tercapai maka pengambilan keputusan diambil atas dasar perhitungan suara terbanyak.
(2)
Perhitungan suara dilakukan secara bebas dan rahasia dari setiap anggota yang memiliki hak bicara atau hak suara.
(3)
keputusan yang diambil harus diteruskan ke Pengurus PGRI yang setingkat untuk segera ditindaklanjuti seperlunya.

Pasal 14
Garis Hubungan Kerja
(1)
Garis hubungan kerja antara DKGI pusat dengan Provinsi dan atau Kabupaten/kota adalah bersifat konsultatif, pelaporan maupun pelimpahan wewenang penanganan masalah kasus pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia.
(2)
Garis hubungan kerja DKGI dengan pengurus PB PGRI dan atau Perngurus PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota didasarkan bahwa DKGI adalah kelengkapan perangkat organisasi otonom yang dibanggakan.
(3)
Keputusan DKGI harus mejadi keputusan Pengurus PGRI, dan Pengurus PGRI harus melaksanakan keputusan DKGI yang setingkat dengan pengurus PGRI.
(4)
Apabila DKGI mengadakan garis hubungan kerja dengan pengurus PGRI yang lebih tinggi tingkatannya maka harus melalui pengurus PGRI yang setingkat dengan DKGI tersebut.

Pasal 15
 Adminstrasi dan Pendanaan
(1)
Administrasi DKGI dikelola oleh sekretaris, dan tatalaksana perkantoran berpedoman/mengikuti dan ditunjang oleh pengurus PGRI.
(2)
Pengelola sekretariat DKGI harus bertanggung jawab atas jaminan kerahasiaan seluruh berkas-berkas persidangan dan yang lainnya.
(3)
Pendanaan yang dibutuhkan untuk kelancaran dalam menjalankan fungsi dan tugas DKGI menjadi tanggung jawab pengurus PGRI.

BAB III
PEMBINAAN DAN PEMASYARAKATAN
Pasal 16
T u j u a n
Meningkatkan mutu pengabdian profesi guru dan dan tenaga kependidikan lainnya dalam mempercepat tercapainya tujuan pembangunan nasional, khususnya program pembangunan pendidikan, dengan jalan :
(1)
meningkatkan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia terhadap seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya serta masyarakat secara umum;
(2)
meningkatkan perilaku guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan etika guru demi terciptanya proses pengabdian profesi kependidikan yang lebih baik;
(3)
menciptakan suasana masyarakat yang lebih kondusif, sehingga akan lebih menguntungkan dalam proses pengabdian dan penerapan etika guru.
Pasal 17
Sasaran yang Ingin dicapai
Sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam pasal 17 di atas, maka sasaran dari pembinaan dan pemasyarakatan Kode Etik Guru Indonesia adalah sebagai berikut:
(1)
guru dan tenaga kependidikan lainnya dapat menjalankan pengabdian khususnya di bidang pendidikan dengan baik;
(2)
terjadinya pemahaman tentang etika guru bagi calon guru dan tenaga kependidikan lainnya yang berada di lembaga kependidikan;
(3)
tumbuhnya pengakuan dari pemerintah dan masyarakat secara luas akan pengabdian profesi kependidikan dan Kode Etik Guru Indonesia.

Pasal 18
Jenis Kegiatan

(1)
Menganjurkan kepada pemerintah dan swasta penyelenggra pendidikan untuk memasukan materi Kode Etik Guru Indonesia khususnya di lembaga kependidikan.
(2)
Menyelenggarakan berbagai pertemuan profesional secara individual kelompok maupun klasikal dalam membahas dan mengkaji berbagai aspek Etika Guru.
(3)
Menyebarluaskan informasi secara tertulis melalui majalah suara guru dan yang lainnya tentang Kode Etik Guru Indonesia terhadap calon guru dan guru serta tenaga kependidikan lainnya.
(4)
Menyelenggarakan berbagai kegiatan lainnya yang dinilai tidak mengikat dan dapat mencapai pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia baik di lingkungan kependidikan maupun di pemerintahan dan masyarakat.
Pasal 19
Materi Pemasyarakatan dan Pembinaan
(1)
Kode Etik Guru Indonesia.
(2)
Lapal pengucapan janji dan sumpah guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(3)
Hukum, aturan dan ketentuan yang ada kaitannya dengan kependidikan.
(4)
Status guru.
(5)
Materi-materi lain yang dapat dinilai menunjang terhadap tercapainya permasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia.

Pasal 20
Pelaksanaan Kegiatan
(1)
Kegiatan pemasyarakatan dan pembinaan Kode Etik Guru Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Guru, dengan jalan bahwa pengurus pusat bertanggung jawab untuk menetapkan garis-garis besar pemasyarakatan dan pembinaan (GBPP) untuk dijabarkan dan dikoordinasikan pelaksanaannya di daerah.
(2)
Dalam melaksanakan pemasyarakatan dan pembinaan seperti ayat satu di atas, maka Dewan Kehormatan Guru dapat bekerja sama dengan pengurus PGRI, mitra pendidikan, dan instansi pemerintah dan kemasyarakatan lainnya, yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Pengurus PGRI.
BAB IV
PENANGANAN PELANGGARAN KODE ETIK GURU INDONESIA
Pasal 21
T u j u a n
(1)
Memecahkan berbagai masalah pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia baik berasal dari komponen pemerintah, masyarakat, atau  guru dan tenaga kependidikan lainnya.
(2)
Menegakkan kebenaran dan keadilan bagi seluruh guru dan tenaga kependidikan lainnya sebagai pelaksana pengabdian profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya; serta bagi seluruh komponen masyarakat sebagai pemakai jasa pelayanan kependidikan.
Pasal 22
Sasaran yang ingin dicapai
(1)
Menangani berbagai perilaku yang menyimpang dari Kode Etik Guru Indonesia yang dilakukan oleh guru dan tenaga kependidikan lainnya sewaktu melaksanakan pengabdian profesi kependidikan.
(2)
Penanganan penyimpangan seperti dimaksud dalam ayat satu di atas baru dapat  dilakukan apabila terjadi pengaduan, ada permintaan dari Pengurus PGRI dan atau DKGI menduga terjadi adanya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia.
Pasal 23
Proses Pengaduan
(1)
Para pihak yang menemukan terjadinya pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia dapat mengajukan melalui surat pengaduan kepada DKGI tempat terjadinya masalah tersebut.
(2)
Apabila di daerah kejadian tersebut belum ada DKGI Kab/Kot maka surat pengaduan diajuakan ke DKGI Provinsi, dan apabila juga belum ada, maka bisa diajuka ke DKGI pusat.
(3)
Surat pengajuan pengaduan dianggap sah apabila diajukan secara tertulis dan dilengkapi dengan berbagai identitas pengaduan yang diajukan dan bukti-bukti yang memperkuat dan menunjang terhadap pengaduan yang diajukan tersebut.
(4)
Surat pengajuan pengaduan dianggap tidak sah apabila diajukan tidak dilengkapi/disertai dengan bukti-bukti yang cukup, dan identitas yang selayaknya dijelaskan, serta waktu kejadian tersebut sudah melewati waktu dua setengah tahun atau lebih.
(5)
Apabila surat pengaduan pertama kali bukan diterima oleh pengurus DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/kota, maka paling lambat dua minggu setelah diterimanya surat pengaduan tersebut harus segera diteruskan kepada DKGI Kabupaten/kota dimana terjadinya kejadian tersebut diajukan.
(6)
Apabila DKGI dimana terjadinya kejadian pengajuan belum terbentuk, maka surat pengaduan sebagaimana ayat 5 di atas harus diteruskan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitupun bagi DKGI PGRI Provinsi yang belum terbentuk, maka pengajuannya harus diteruskan kepada DKGI pusat.
Pasal 24
Pengkajian
(1)
Setiap pengajuan yang diajukan karena pelanggaran terhadap Kode Etik Guru Indonesia harus dikaji terlebih dahulu secara berhati-hati dan seksama dengan prinsip penanganan berdasarkan asas praduga tak bersalah.
(2)
Kegiatan pengkajian sebagaimana ayat satu di atas untuk tahap pertama menjadi tugas dan wewenang pengurus DKGI PGRI Kabupaten/kota dengan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut :

a.
mempelajari identitas pengaduan yang diajukan;

b.
mempelajari berkas-berkas sebagai bukti tertulis yang diajukan;

c.
mengambil kesimpulan sementara absah dan tidaknya surat pengaduan tersebut;

d.
mempelajari masalah lebih dalam dan luas lagi, dengan cara :


1)
mengundang pengadu dan yang diadukan secara terpisah untuk sama-sama melengkapi dan memberi penjelasan tentang duduk permasalahan sebenarnya;


2)
mengundang saksi dari para pihak secara terpisah apabila ada dan diajukan untuk sama-sama meminta informasi dalam memperjelas masalah yang diajukan;


3)
melakukan kunjungan ke tempat terjadinya kejadian untuk memperoleh keterangan yang lebih jelas dan akurat, ataupun hubungannya dengan benda-benda atau barang-barang bukti yang sifatnya tidak bisa dipindahkan; dan


4)
apabila diperlukan maka diperbolehkan mengundang pihak-pihak tertentu yang sesuai dengan masalah yang diajukan untuk dijadikan saksi ahli;

e.
melakukan sidang DKGI secara lengkap untuk bermusyawarah dalam menentukan persiapan sidang–sidang selanjutnya.

Pasal 25
Barang Bukti
(1)
Pada waktu pemanggilan saksi dan kunjungan-kunjungan ke tempat kejadian, maka pada waktu itu pula dapat dimintakan untuk memperlihatkan berbagai barang bukti, dan  jika diperlukan diminta persetujuan untuk membuat rekaman suara dan atau  gambar.
(2)
Apabila pengadu dan teradu serta saksi menolak memperlihatkan barang bukti dan pengambilan suara dan gambar sebagaimana ayat 1 (satu) di atas, maka hal ini dapat dicatat untuk dijadikan bahan pertimbangan pada waktu pengambilan keputusan.
(3)
DKGI tidak berwenang melakukan penyitaan terhadap barang-barang bukti yang diajukan melainkan bisa melalui pihak–pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 26
Kegiatan Pembelaan
(1)
Pada waktu proses pengkajian dan sidang-sidang maka pihak teradu memiliki hak untuk didampingi oleh pembela.
(2)
Yang dimaksud pembela adalah Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) PGRI.
(3)
Hak yang dimiliki tersebut harus terlebih dahulu dikemukakan jauh sebelum sidang dimulai.
(4)
Mengingat sifat kejadian yang ditangani menyangkut etika guru sangat khusus dan lebih pelik, maka dibenarkan dan berhak untuk didampingi pembela dari luar dapat dipertimbangkan, apabila yang dimintakan teradu adalah pembela berasal dari luar LKBH PGRI.
Pasal 27
Penunjukan Saksi Ahli
(1)
Apabila dalam penanganan kejadian pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia dimaksud diperlukan adanya saksi ahli, maka dapat dimintai kehadirannya dalam setiap sidang dalam forum DKGI.
(2)
Penunjuk saksi ahli menjadi wewenang sepenuhnya dari DKGI.
(3)
Saksi ahli tahap pertama harus diambil dari lingkungan organisasi PGRI beserta seluruh kelengkapan perangkat organisasi, namun apabila tidak ada maka dapat diminta di luar organisasi PGRI.
Pasal 28
Kegiatan Persidangan
(1)
Tata cara persidangan DKGI di daerah harus sesuai dengan tata cara yang ditentukan DKGI pusat; (tata cara ini akan diminta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
(2)
Apabila teradu menginginkan bantuan dan memanfaatkan jasa dari LKBH PGRI maka LKBH PGRI tersebut harus memberitahukan kepada LKBH PGRI Propvinsi dan LKBH PGRI Pusat.
(3)
Apabila pengkajian telah selesai dilakukan maka sebelum diambil keputusan hendaknya LKBH PGRI diberikan kesempatan mengemukakan pendapatnya tentang kejadian yang sedang di kaji.

Pasal 29
Pengambilan Keputusan
(1)
Tata cara pengambilan keputusan dalam sidang-sidang DKGI Provinsi dan atau Kabupaten/Kota harus sesuai dengan yang ditentukan DKGI pusat; (ketentuan hal ini akan minta penjelasan dari ketua LKBH PB PGRI).
(2)
Keputusan yang diambil oleh DKGI dalam penanganan pelanggaran Kode Etik Guru Indonesia harus menyatakan dengan jelas bersalah atau tidak bersalah bagi teradu.
(3)
Keputusan sebagaimana ayat dua di atas harus dibedakan antara kesalahan ringan, sedang, dan berat.
(4)
Penetapan kategori kesalahan hendaknya didasarkan kepada kriteria sebagai berikut :

a.
akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi; keselamatan guru dan tenaga kependidikan lainnya;

b.
itikad yang ditunjukan cukup baik pihak teradu dalam membantu menyelesaikan persoalan dimaksud; serta dorongan yang mendasari tumbuhnya kejadian yang bisa dipertimbangkan;

c.
kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi tumbuhnya kejadian; serta pendapat dan pandangan LKBH PGRI;
(5)
Apabila kejadian yang dimaksud menyangkut pelanggaran hukum dan masalah tersebut sedang dalam proses hukum, maka hendaknya keputusan DKGI ditunda sampai dengan keputusan hukum tersebut.
(6)
DKGI harus mampu mencegah tumbuhnya proses hukum di pengadilan dengan upaya persidangan di DKGI tersebut.

Pasal 30
Pemberian Sanksi
(1)
DKGI merekomendasikan pemberian sanksi kepada badan pimpinan organisasi PGRI yang setingkat dengan DKGI dan diteruskan kepada PB PGRI untuk disampaikan kepada instansi pemerintah dan penyelenggara pendidikan yang terkait.
(2)
Dalam hal sanksi yang langsung berhubungan dengan keanggotaan pada PGRI, maka PB PGRI dapat mencabut keanggotaan guru atau tenaga kependidikan tersebut bila DKGI memutuskan demikian.
(3)
Sanksi yang diberikan akan tergantung kepada berat dan ringannya kesalahan yang dilakukan oleh pihak tertentu.
(4)
Sanksi yang diberikan bisa berupa : (1) teguran; (2) peringatan tertulis; (3) penundaan pemberian hak; (4) penurunan pangkat; dan (5) pemberhentian dengan hormat; atau (6) pemberhentian tidak dengan hormat.
(5)
Kalau keputusan oleh Instansi terkait berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak hormat maksudnya adalah dalam waktu sementara melalui waktu yang telah ditentukan, dan pada masa ini diadakannya pembinaan dari pihak DKGI.
(6)
Apabila selama waktu pemberhentain sementara, tidak terjadi perbaikan-perbaikan, maka akan ditetapkan pemecatan dan pemberhentian dari anggota/pengurus PGRI, yang diikuti dengan penyampaian rekomendasi kepada Instansi Departemen Pendidikan Nasional untuk diadakan tindakan seperlunya.
(7)
Keputusan tentang pemecatan dan pemberhentian tetap dikirimkan kepada pengurus PGRI/DKGI PGRI Provinsi maupun PB PGRI.

Pasal 31
Banding
(1)
Apabila kedua belah pihak antara pengadu dan teradu merasa tidak puas atas keputusan yang telah ditetapkan DKGI, maka keduanya bisa menyatakan untuk mengajukan naik banding.
(2)
Naik banding sebagaimana ayat satu di atas merupakan tahap awal yang harus ditujukan kepada DKGI PGRI Provinsi, begitu pula selanjutnya bisa naik banding tahap yang kedua yang ditujukan ke tingkat DKGI Pusat.
(3)
Tata cara pengakajian dan pengambilan keputusan pada pelaksanaan sidang-sidang pada dasarnya sama antara DKGI PGRI Provinsi dan atau Kabupaten/kota dengan di pusat.
(4)
Keputusan yang diambil DKGI Pusat pada dasarnya merupakan keputusan final dan mengikat yang tidak bisa diganggu gugat, kecuali datangnya keputusan lain melalui Kongres PGRI.

Pasal 32
Perbaikan dan Pemulihan
(1)
Perbaikan dan pemulihan akan dilakukan apabila ternyata penerima sanksi dinyatakan tidak bersalah; atau telah menjalani sanksinya sesuai keputusan DKGI.
(2)
Bagi pihak penerima sanksi sebagaimana ayat 1 (satu) di atas akan segera dikeluarkan perbaikan dan pemulihan yang disertai permintaan maaf kepada penerima sanksi tersebut.
(3)
Surat perbaikan dan pemulihan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas disampaikan kepada penerima sanksi, instansi tempat bekerja, serta kepada masyarakat secara umum.
(4)
Penerbitan surat keputusan perbaikan dan pemulihan dilakukan oleh Pengurus PGRI dimana masalah tersebut ditangani dengan tembusan kepada pengurus PGRI yang lebih tinggi dan yang dibawahnya termasuk pula kepada DKGI yang bersangkutan.

Pasal 33
Administrasi
(1)
Setiap surat pengaduan dan identitas pengadu diperlakukan sebagai surat rahasia dan jika dianggap perlu untuk dirahasiakan.
(2)
Pemanggilan terhadap pengadu, teradu, dan saksi harus dilakukan secara tertulis dan paling banyak 3 kali pemanggilan.
(3)
Apabila pemanggilan sebagaimana pada ayat 2 (dua) di atas ada yang tidak datang dan tanpa alasan yang sah, maka penanganan masalah tersebut harus dilanjutkan tanpa kehadirannya.
(4)
Dalam hal minta keterangan terhadap pengadu, teradu, dan saksi oleh DKGI tidak diawali dengan pengambilan sumpah, akan tetapi hanya dengan surat pernyataan.
(5)
Surat dimaksudkan secara tertulis yang dibuat dan ditandatangani di atas materai yang cukup di depan DKGI yang berisi bahwa keterangan yang akan diberikan adalah benar.
(6)
Apabila pihak-pihak tersebut sebagaimana ayat 4 (empat) di atas tidak bersedia atau menolak membuat atau menandatangani surat dimaksud, maka akan menjadi catatan khusus sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan keputusan.
(7)
Semua keterangan, barang bukti dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan sidang-sidang DKGI harus dibukukan dan didokumentasikan secara lengkap dan sempurna serta menjadi milik PGRI. Data-data tersebut sangat tidak dibenarkan untuk diketahui oleh pihak ketiga atau pihak lain, kecuali dinyatakan lain oleh ketentuan perundang-undangan dan diminta oleh Negara.

BAB V
PENUTUP
Pasal 34
Penutup
Hal-hal lain yang belum diatur dalam ketentuan ini akan diatur tersendiri oleh DKGI.
***


Subscribe for latest Apps and Games


0 komentar:

Posting Komentar