Proposal Skripsi TINJAUAN PSIKOLOGIS PENOKOHAN CERPEN Google New Portal Tomy Okes Putra Linggau



TINJAUAN PSIKOLOGIS PENOKOHAN CERPEN
 
 MENUNGGU SUTI KARYA RD. KEDUM
DAN IMPLIKASI PENGAJARANNYA

A.    Latar Belakang
Karya sastra merupakan salah satu karya seni karena karya sastra dengan leluasa menggungkapkan dan mengekspresikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi manusia demi penyempurnaan kehidupan manusia. Karya sastra memiliki beberapa klasifikasi, jenis, gengre yang meliputi prosa, puisi, dan drama. Prosa terdiri atas novel, cerpen, roman, dan sebagainya. Sastra diartikan sebagai tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dalam bahasa yang indah.
 Wiyatmi ( 2011:14 ) mengatakan sastra merupakan hasil karya seni yang diciptakan pengarang ataupun kelompok masyarakat tertentu bermediakan bahasa. Sebagai karya seni yang bermediakan bahasa, karya sastra dipandang sebagai karya imajinatif[1]. Di samping sebagai karya seni yang memberikan kesan keindahan bagi pembacanya, juga dapat dijadikan objek bagi seseorang yang ingin berusaha meninjau dan mendeskripsikan peristiwa atau memahami watak tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Selain itu karya sastra juga bisa diapresiasikan.
Aminudin (2010:36) mengatakan kegiatan apresiasi sastra dapat dilakukan dengan kegiatan langsung dan tak langsung. Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun performasi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung itu dapat terwujud daam prilaku membaca, memahami, menimati, serta mengevaluasi teks sastra baik yang berupa cerpen, novel, roman naskah drama, maupun teks sastra yang berupa puisi[2]. Sebelum mengapresiasikan karya sastra terlebih dahulu kita mengetahui ciri-ciri sastra itu tersebut.
Luxemburg dkk (dalam Wiyatmi 2011:14-15) mengemukakan beberapa ciri sastra. Pertama, sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan sebuah imitasi. Kedua, sastra merupakan luapan emosi yang spontan. Ketiga, sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Keempat, otonomi sastra itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi ini mengacu pada keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Kelima, sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Keenam, sastra mengungkapkan yang tak terungkap. Sastra mampu menghadirkan aneka macam asosiasi dan konotasi yang dalam bahasa sehari-hari jarang kita temukan[3]. Oleh karena itu, meninjau dan mendeskripsikan peristiwa atau memahami psikologi sastra  merupakan langkah awal bentuk sumbangan pemikiran terhadap pengemabangan pembelajaran sastra.
Wiyatmi (2011:28) menjelaskan bahwa psikologi sastra merupakan salah satu kajian sastra yang bersifat interdisipliner, karena memahami dan mengkaji sastra dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam psikologis[4]. Psikologis sastra mempunyai empat kemugkinan pengertian, yaitu studi pisikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, proses kreatif, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan mempelajari dampak sastra pada pembaca.
Sastra sebagai gejala kejiwaan di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang terlihat lewat prilaku tokohnya. Dengan demikian mempelajari sastra salah satunya dalam bentuk cerita dapat memberikan semangat kepada seseorang untuk memperoleh informasi tentang sastra dan segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Dalam pelaksanaan apresiasi sastra melalui kegiatan tinjauan, tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra, melainkan bisa dibatasi pada tinjaun struktur, diksi, gaya bahasa  unsur kebahasaan, atau mungkin psikologi penokohan.
 Menurut Minderop ( 2010:54 ) tujuan psikologis sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya, melalui pemahaman terhadap para tokoh, misalnya, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi di masyarakat khususnya yang terkait dengan psike[5]. Meskipun demikian bukan berarti bahwa tinjauan psikologis sastra sama sekali terlepas dari kebutuhan masyarakat. Menurut Semi (dalam Endraswara, 2013 : 12) ada beberapa kelebihan penggunaan psikologis sastra, yaitu (1) sanggat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2) dengan pendekatan ini dapat memberikan umpan balik kepada penulis tentang masalah perwatakan yang dikembangkan (3) sangat membantu dalam meganalisis karya sastra, apalagi menganalisis kejiwaan penokohan cerita pendek atau cerpen[6].
Meninjau psikologis penokohan cerita pendek merupakan kegiatan yang cukup sulit untuk dipahami setiap orang. Selain bersifat apresiatif cerpen juga bersifat imajinatif serta sering menyimpang dari konvensi kebahasaan, sehingga menimbulkan keasingan bagi siswa baik untuk meninjau maupun untuk memahaminya. Oleh karena itu dalam meninjau cerita pendek atau cerpen diperlukan kecermatan dari seorang pembaca, hal ini memungkinkan secara tidak langsung pembaca akan merasakan sesuatu di dalam karya sastra tersebut.
Berdasarkan uraian sebelumnya, kaitannya dengan penelitian ini tinjauan yang akan dilakukan peneliti adalah tinjauan psikologis penokohan dari kumpulan cerita pendek atau cerpen  Menunggu Suti karya RD. Kedum. Hasil tinjauan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di sekolah untuk mengatasi kendala pembelajaran sastra yang tejadi saat ini.
B.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Nilai-nilai psikologis apa saja yang dapat diambil dalam cerpen Menunggu Suti karya RD Kedum?
C.    Ruang Lingkup  Penelitian
Cerita pendek atau cerpen yang akan ditinjau dalam penelitian ini adalah kumpulan cerpen Menunggu Suti Karya RD. Kedum yang terdiri dari beberapa judul cerpen yaitu : menunggu suti, dayang torek itu kembali silam, topi baret, sosok hitam yang berkelebat, bujang lapuk mencari janda beranak, adakah, duguk-antu ayek lubuk sinalang, lelaki di jumbun berduri, meniti nasib di bulir pasir, biar langit saja yang bercerita, palasik yang mengitari bubungan rumah, jangan bunuh abjadku, copet, biarkan kidung sepi dan menanti.
Ruang lingkup penelitian ini peneliti batasi hanya pada satu cerpen yaitu analisis psikologis penokohan cerpen Menunggu Suti karya RD Kedum sebagai sumbangan pikiran terhadap pembelajaran sastra. Tinjauan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu tentang psikologis penokohannya, bagaimana keadaan tokoh yang ada dalam cerpen tersebut.

D.     Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan nilai psikologis penokohan cerita pendek Menunggu Suti karya RD. Kedum
E.     Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari hasil kegiatan penelitian ini adalah:
1.      Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini berguna untuk mengukur kemampuan peneliti dalam melakukan tinjauan psikologis penokohan cerpen Menunggu suti Karya RD. Kedum.
2.      Pengajaran Sastra
Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu alternatif menentukan cara yang tepat untuk memahami kejiwaan penokohan dalam sebuah karya sastra seperti cerita pendek atau cerpen Menunggu Suti karya RD. Kedum. Melalui kegiatan tinjauan ini yang mengedepankan sosok perempuan berprilaku dan berhati mulia dalam sebuah karya sastra (cerpen).

3.      Lembaga Pendidikan STKIP-PGRI Lubuklinggau
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran dan mendorong untuk meningkatkan pengalaman dan sumber belajar tentang tinjauan psikologis penokohan cerita pendek.



F.     Definisi Istilah
a.       Tinjauan adalah pemeriksaan yang teliti, penyelidikan, kegiatan pengumpulan data, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan.
b.      Psikologis adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa.
c.       Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
d.      Cerita pendek atau cerpen adalah jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita tentang manusia dan seluk beluknya lewat tulisan pendek.
e.       Implikasi adalah akibat langsung atau konsekuensi dari temuan dan hasil atas suatu penelitian.
G.    Tinjauan Pustaka
1.      Pengertian Tinjauan
Tinjauan adalah pemeriksaan yang teliti, penyelidikan, kegiatan pengumpulan data, pengolahan analisis dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan.
2.      Pengertian psikologis Sastra
Sebelum menguraikan tentang psikologi sastra, terlebih dahulu diuraikan pengertian psikologi. Dalam pengantar psikologi umum, Ahmadi (2009:1) mengemukakan bahwa Psikologis berasal dari perkataan yunani “psyche” yang artinya jiwa dan “logos” yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi (menurut arti kata) psikologis artrinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangkangnya. Dengan singkat disebut ilmu jiwa[7]. Sejalan dengan pendapat di atas  Djamarah (2008:1) mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau ilmu jiwa[8].
Perlu diketahui istilah jiwa dalam bahasa Indonesia sering kali dihubungkan dengan masalah mistik, kebatinan, dan keruhanian. Oleh alasan tersebut para ahli lebih suka menggunakan istilah psikologi. Di samping itu, objek utama psikologi bukanlah masalah jiwa karena jiwa tidak dapat dipelajari dan diteliti secara ilmiah. Objek psikologi, yaitu tingkah laku manusia atau gejalah kejiwaan. seperti menurut aliran freudianisme (dalam Prawira, 2012:25) ini mengatakan psikologi adalah ilmu yang mempelajari baik gejalah-gejalah kesadaran maupun gejalah-gejalah ketidaksadaran serta gejalah-gejalah di bawah sadar[9]. 
Psikologi merupakan ilmu yang berdiri sendiri, tidak bergabung dengan ilmu-ilmu lain. Namun, psikologi tidak boleh dipandang sebagai ilmu yang sama sekali terlepas dari imu-ilmu lainnya. Dalam hal ini psikologi masih mempunyai hubungan dengan ilmu lain seperti filsafat, social, maupun budaya. Di samping itu, psikologi mempunyai keterkaitan denga ilmu sastra.
Endraswara (2013:96) mengatakan psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan[10]. Sejalan dengan pendapat di atas Minderop (2010:54) mengemukakan psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan[11]. Psikologi sastra merupakan salah satu kajian sastra yang bersifat interdidipliner, karena memahami dan mengkaji sastra dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangkah teori yang ada dalam psikologi. Menurut Wellek dan Waren ( dalam Wahyuningtias dan Wijaya 2011: 8-9 ) psikologi sastra mempunyai empat kategori, yaitu:
1.      Studi psikologi pengarang sebagai tife atau sebagai pribadi
2.      Studi hukum-hukum psikologi yang ditrapkan dalam karya sastra
3.      Proses kreatif
4.      Pengarang dan latar belakang pengarangnya mempelajari dampak sastra terhadap pembaca atau psikologi karya sastra[12].
Dalam menelaah suatu karya psikologis hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologis pengarang dan kemampuan pengarang menapilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan.
Minderop (2010:55) mengemukakan bahwa psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar. Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang menelaah cermin psikologis dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh pengarang sehingga pembaca merasa terbuai oleh problemah psikologis kisahan yang kadang kalah merasakan dirinya teribat dalam cerita[13].  
3.      Pendekatan Psikologis
Endraswara (2013: 97) mengatakan pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikolois tokoh dalam karya satra. Kedua, pendekatan reseftif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya ang dibacanya. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya[14].
Dalam pandangan wellek dan Warren (dalam Endraswara, 2013:98-99) psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Bagaimana langkah-langkah psikologis ketika mengekspresikan karya sastra menjadi fokus. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dalam kaitan ini studi dapat diarahkan pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis ke dalam sebuah teks sastra. Keempat, penelitian dampak psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cendrung ke arah aspek-aspek pragmatik psikologis teks sastra terhadap pembacanya[15].
Penelitian psikologi sastra memang memiliki landasan pijak yang kokoh. Karena, baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari hidup manusia. Bedanya, kalau sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari manusia sebagai ciptaan illahi secara riil. Namun sifat-sifat manusia dalam psikologi maupun sastra sering menunjukan kemiripan, sehingga psikologi sastra memang tepat dilakukan. Meskipun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, penciptaan tetap sering memanfaat hukum-hukum psikolgi untuk menghidupkan karakter tokoh-tokohnya. Pencipta sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam-diam.
Menurut Endraswara (2013: 104) yang harus dilakukan dari sasaran penelitian tentang psikologi tokoh ada beberapa proses, yaitu:
1.      Pendekaan psikologi sastra menekankan kajian keseluruhan baik berupa unsur instriksik maupun ekstrinsik. Namun, tekanan pada unsure intrinsik, yaitu tentang penokohan dan perwatakannya.
2.      Di samping tokoh dan watak, perlu dikaji pula masalah tema karya. Analisis tokoh seharusnya ditekankan pada nalar perilaku tokoh. Tokoh yang disoroti tak hanya terfokus pada tokoh utama, baik protagonis maupun antagonis. Tokoh-tokoh bawahan yang dianggap tak penting pun harus diungkapkan.
3.      Konflik perwatakan tokoh perlu dikaitkan dengan alur cerita[16].
Menurut Endraswara (dalam Minderop, 2010:2) kelebihan penelitian psikologi sastra yaitu;
1)       Pentingnya pisikologi sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan.
2)       Dengan pendekatan ini dapat memberi umpan-balik kepada peneliti tentang masalah perwatakan yang dikembangkan.
3)       Penelitian semacam ini sangat membantu untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah psikologis[17].
Adapun kelemahannya antara lain:
1)      Menuntut kekayaan pengetahuan, ilmu jiwa psikologi. Kalau tidak, pendekatan ini sukar untuk dijalankan;
2)      Banyak hal yang abstrak yang sukar dinalar dan dipecahkan karena keterangan tentang perilaku dan motif tindakan itu tidak dijelaskan oleh penulis;
3)      Sukar mengetahui kaitan satu tindakan dengan tindakan lain yang diperlihatkan tokoh karena tokoh itu sendiri ‘mati’, tidak bisa diwawancarai, sedangkan pengarang-pun seringkali tidak mau mengomentari karyanya;
4)      Tidak mudah mengetahui apakah pengalaman yang menimpa tokoh cerita merupakan pengalaman pengarang atau bukan;
Pendekatan ini secara operasional lebih bisa berjalan apabila pengarang jujur dengan hati nuraninya. Dalam arti ia memang mengeluarkan segala obsesi yang mengendap di dalam jiwanya kemudian disalurkan lewat tulisan; tetapi bila pengarang tidak jujur menerapkan pengalaman batinnya, maka segala macam kajian tentang riwayat hidup pengarang juga tidak banyak berarti;
4.      Konsep Umum Psikoanalisis
Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud (dalam Endarswara, 2013: 101), seorang dokter muda dari Wina. Ia mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan sebagian besarnya adalah ketaksadran atau taksada[18]. Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha menggungkapkan psikoanalisa kepribadian yang dipandang meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu:
a.      Das Es (The Id)
Wahyuningtyas dan Wijaya (2011:11) Menjelaskan Das Es (The Id) adalah aspek biologis kepribadian yang berhubungan dengan prinsip kesenangan atau pemuasan dalam bentuk dorongan seksual[19]. Sejalan dengan pendapat di atas Endraswara (2013:101) Mengatakan Id adalah aspek kepribadian yang gelap dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa energy buta[20]. Demikian juga Wiyatmi (20111:11)  mengatakan Id berkaitan dengan ketidaksadaran yang merupakan bagian yang primitif dari kepribadian. Kekuatan yang berkaitan dengan Id mencakup insting seksual dan insting agresif[21].
Dapat disimpulkan bahwa Id merupakan aspek biologis kepribadian yang berkaitan dengan ketidaksadaran serta mencakup insting seksual dan insting agresif.
b.      Das Ich (The Ego)
Wahyuningtyas dan Wijaya (2011:12) Menjelaskan Das Ich (The Ego) adalah aspek psikologis dari kepribadian yang muncul setelah adanya hubungan dengan dunia luar atau lingkungan. Ego bersifat menekan Id yang kuat dalam bentuk aktivitas sadar dan prasadar dengan berpegang pada prinsip kenyataan atau reality prinsciple[22]. Sejalan dengan pendapat di atas Endraswara (2013:101) mengatakan ego adalah kepribadian implemetatif, yaitu berupa kontak dengan dunia luar[23]. Sama dengan pendapat di atas Wiyatmi (2011:11) menjelaskan ego sadar akan realitas. Oleh karena itu, Frued menyebutnya sebagai prinsip realitas[24].
c.       Das Ueber Ich (The Superego)
Wahyuningtyas dan Wijaya (2011:13) menjelaskan superego adalah aspek sosiologis kepribadian yang merupakan hal yang ideal daripada yang rill lebih menekankan kesempunaan daripada kesenagan. Superego merupakan lapisan yang menolak sesuatu yang melanggar norma. Superego dapat dikatakan sebagai dasar hati nurani yang erat hubungannya dengan moral[25]. Sejalan dengan pendapat di atas Wiyatmi (2011:11) mengatakan bahwa superego mengontrol mana perilaku yang boleh dilakukan, mana yang tidak[26].
5.      Pengertian Cerita Pendek (Cerpen)
Somad, dkk (2008:171) mengatakan bahwa cerita pendek sering disebut sebagai cerita rekaan yang relatif pendek karena dapat selesai dibaca dalam satu kali pembacaan. Dalam penyajiannya cerpen disusun secara cermat dan hemat
serta berfokus pada satu pokok permasalahan[27]. Sejalan dengan pendapat di atas Kosasih ( 2003: 222) menjelaskan bahwa cerita pendek (cerpen) adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentu pendek. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Namun, pada umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500-5.000 kata[28]. Karena itu, cerita pendek sering diungkapkan dengan cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk. Selain itu menurut Nurgiantoro ( 2010: 10) cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tidak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli[29].
Dengan demikian dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita pendek namun ukuran panjang pendeknya suatu cerita memang relatif. Karena itu cerita pendek sering diungkapka dengan cerita yang dapat dibaca dalam sekali duduk.
Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa cerpen memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Penyajiannya disusun secara cermat dan hemat
b.      Berfokus pada satu pokok permasalahan
c.       Jumlah katanya sekitar 500-5.000 kata
d.      Dapat dibaca dalam sekali duduk
Menurut Kosasih ( 2003: 223) cerpen memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Alur lebih sederhana
b.      Tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang
c.       Latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkup yang relatif terbatas
d.      Tema dan nilai-nilai kehidupan yang disampaikan relatif sederhana[30].
Menurut Nurgiantoro (2012:10) berdasarkan panjang ceritanya jenis cerita pendek atau cerpen terdiri dari:
a.       Short short story yakni, cerpen yang pendek bahkan mungkin pendek sekali berkisar antara 500-an kata.
b.      Midle short story yakni, cerpen yang panjangnya cukupan.
c.       Long short story yakni, cerpen yang panjang ceritanya terdiri dari puluhan atau bahkan beberapa puluh ribu kata. Cerpen dalam bentuk ini bisa disebut dengan ‘novelet’[31].
 Dalam sebuah cerpen ada unsur-unsur yang membangunnya, berikut ini unsur-unsur intrinsik sebuah cerpen:
a.       Tema
Tema merupakan pokok pembicaraan yang mendasari cerita. Wahyuningtyas dan Santoso (2011:2) menjelaskan bahwa tema adalah gagasan utama atau gagasan sentral pada sebuah cerita atau karya sastra[32]. Sejalan dengan pendapat sebelumnya Kosasih (2003: 223) mengungkapkan bahwa tema merupakan inti atau ide dasar sebuah cerita. Dari ide dasar itulah kemudian cerita dibangun oleh pengarangnya dengan memanfaatkan unsur-unsur intrinsiknya. Tema merupakan pangkal tolak pengarang dalam menceritakan dunia rekaan yang diciptakannya[33].
b.      Plot (Alur)
Plot atau alur adalah rangkain cerita yang sambung menyambung dalam sebuah cerita berdasarkan logika sebab-akibat. Plot juga disebut jalan cerita. Plot merupakan unsur yang sangat penting dalam sebuah karya sastra. Kegiatan pemplotan merupakan kegiatan memilih peristiwa yang akan diceritakan dan kegiatan menata peristiwa-peristiwa tersebut kedalam struktur linier karya fiksi.
 Stanto (dalam Wahyunigtyas dan Santoso, 2011:5-6) mengemukakan plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan terjadinya peristiwa yang lain[34]. Sejalan dengan pendapat di atas Somad (2011:174) mengatakan alur merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita[35]. Sama halnya dengan pendapat para ahli sebelumnya Kosasih (2003:225) juga mengatakan alur (plot) merupakan sebagian dari intrinsik suatu karya sastra. Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbetuk oleh hubungan sebab-akibat[36].
c.         Penokohan
Tokoh berkaitan dengan siapa yang diceritakan, siapa yang melakukan sesuatu, siapa yang mengalami sesuatu, siapa yang membuat konflik, dan sebagainya. Peristiwa dalam cerita dialami oleh tokoh atau pelaku. Penokohan memiliki arti yang lebih luas dari tokoh karena penokohan merupakan pelukisan bagaimana perwatakan tokoh-tokohnya dan memberikan gambaran yang jelas pada pembaca. Kosasih (2003: 228) Menjelaskan bahwa  penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita[37]. Sejalan dengan pendapat itu Nurgiantoro (2010: 165) mengemukakan bahwa penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita[38].
d.       Latar atau Setting
Latar atau Setting menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar sangat penting untuk memberikan gambaran kepada pembaca dan menciptakan suasana tertentu yang sungguh-sungguh terjadi. Somad (2009: 175) mengatakan latar atau setting mengacu pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritan[39]. Sejalan dengan pendapat di atas Abrams (dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011:7) menyatakan bahwa latar adalah landas tumpu, penyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan[40].

e.        Gaya Bahasa
Kosasih (2003: 230) menjelaskan bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam sebuah karya sastra. Penggunaan bahasa berfungsi menciptakan sebuah nada atau suasana persuaian  serta merumuskan dialog yang mampu memperlihatkan hubungan interaksi antara sesam tokoh[41].
f.        Amanat
Amanat merupakan unsur ajaran yang ingin disamapaikan pengarang kepada pembaca. Amanat dapat dikatakan sebagai unsur pendidikan moral. Unsur ajaran atau pendidikan moral ini dapat diketahui oleh pembaca setelah ia membaca karya sastra tersebut secara keseluruhan. Kosasih (2003: 230) mengungkapkan bahwa amanat merupakan ajaran moral atau pesan dikatis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca  melalui karyanya itu[42]. Amanat dalam cerpen akan disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan isi cerita. Karena itu, untuk menemukannya tidak cukup dengan membaca dua atau tiga paragraf, melainkan harus mengahbiskannya sampai tuntas.
g.       Sudut Pandang (Pusat Pengisahan/Point of View)
Wahyuningtyas dan Santosa (2011:8) Sudut pandang merupakan titik pandang dari mana cerita itu dikisahkan. Ada dua metode penceritaan dalam pusat pengisahan yaitu metode Aku dan metode Dia[43]. Sama halnya denga pendapat ini Kosasih (2003: 229-230) menjelaskan bahwa sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Posisi pengarang ini terdiri atas dua macam yaitu: berperan langsung sebagai orang pertama dan hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat[44].
6.      Pengertian penokohan
Menurut (Nurgiantoro, 2010:165) Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan atau karakter dan karakteristik secara bergantian dengan menunjukan arti yang hampir sama. Penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjukan pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak teretntu dalam sebuah cerita. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilakan dalam sebuah cerita[45].
Selanjutnya Minderop (2010: 98) berpendapat bahwa perwatakan adalah kualitas nalar atau perasaan para tokoh di dalam suatu karya fiksi yang dapat mencakup tidak saja tingkah laku atau tabiat dan kebiasaan tetapi juga penampilan[46]. Penggunaan istilah karakter (character) dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, da prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Stanto dalam  Nurginatoro (2010:165) mengatakan dengan demikian, character dapat berarti pelaku cerita  dan dapat pula berarti perwatakan[47]. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya, memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu tak jarang, langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Hal itu terjadi terutama pada tokoh-tokoh cerita yang telah menjadi milik masyarakat.
Tokoh cerita (character) menurut Abrams dalam Nurginatoro (2010:165-166) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sebuah karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan[48]. Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada secara fisik.
Dengan demikian istilah penokohan lebih luas pengertiannya dari pada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
H.    Metode dan Prosedur Penelitian
1.      Metode Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif.  Amirun dan Haryono (2005:14) penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk menghasilkan grounded theory, yakni teori yang timbul dari data bukan dari hipotesis-hipotesis seperti dalam metode  kuantitatif[49]. Selanjutnya Syamsudin dan Damaianti (2009:73) mengatakan penelitian kualitatif juga bisa dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik  ataupun bentuk hitung lainnya[50].
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak diperoleh melalui prosedur statistika yakni teori yang timbul dari data. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang penting untuk memahami suatu fenomena sosial dan perspektif individu yang diteliti. Tujuan pokoknya adalah mengambarkan, mempelajari, dan menjelaskan fenomena itu. Pemaham fenomena ini dapat diperoleh dengan cara mendeskripsikan dan mengeksplorasikan dalam sebuah narasi.
Ciri-ciri terpenting metode kualitatif kutha (2004:47-48)
1)      Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi cultural
2)      Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah.
3)      Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek penelitian sebagai intrumen utama, sehingga terjadi interaksi langsung diantaranya.
4)      Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka
5)      Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budayanya masing-masing[51].

Hal ini perlu dipahami sebab karya sastra adalah dunia kata dan symbol yang penuh makna sehingga perlu ditafsirkan maknanya agar dimengerti dan dipahami yang tujuannya untuk meneliti dan memahai suatu peristiwa atau gejalah yang muncul pada teks bacaan, dengan ketentuan setiap gejala yang muncul harus diamati dan dikontrol secermat mungkin, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat munculnya gejalah tersebut dalam sebuah cerita.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan analisis data secara kualitatif. Asmani (2011: 40) menjelaskan penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung [52]. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberi perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut. 
Metode pemahaman digunakan dalam tinjauan ini bertujuan untuk mengetahui psikologis penokohan yang terkandung dalam cerpen Menunggu Suti karya RD Kedum dan implikasi pengajarannya yang diapresiasikan dalam sebuah uraian kualitatif sehingga tampak kualitas dan hasil karya sastra yang dibuat oleh seorang pengarang salah satunya pada cerpen Menunggu Suti karya RD Kedum ini.
2.      Objek Analisis
Objek penelitian ini adalah tinjauan psikologis penokohan cerpen Menunggu Suti karya RD Kedum yang diambil dari salah satu beberapa kumpulan cerpen karya RD Kedum pada buku terbitan pertama tahun 2011.


MENUNGGU SUTI
Karya: RD Kedum
Untuk kesekian kalinya kuungkapkan kepadamu. Ini bukan akal-akalan untuk mengelabuimu agar aku terkesan sebagai seorang yang serba tahu. Aku hanya berusaha menyusup pada diri seseorang dan mengungkapkannya kepada sesiapa. Barangkali saja diri seseoran yang kuceritakan kepadamu dapat jadi pelajaran. Mengambil hikmahnya, kata orag. Jika aku salah, tolong kau maafkan saja. Bukankah member maaf itu lebih baik dari pada menyimpannya dalam hati dan akan membuat kita sakit? Sakit hati!
Pagi merangkak dhuha. Langit yang murung, seakan enggan memberiikan sela pada matahari untuk dapat menyusup ke bumi; sekadar mengetahu gerangan apa yang terjadi? Atau sebenarnya ini isyarat yang tak terbaca oleh mata awamku? Puluhan baying hitam yang berkerumun, seakan menyetubuhiku yang tengah telentang kaku.
Ach! Jika saja aku memiliki sedikit kepahaman seperti Khidir, niscaya aku dapat membaca apa yang akan terjadi esok. Atau seperti Sulaiman yang paham bahasa hewan, pasti aku akan mendapatkan kabar dari semut, nyamuk, kecoa, cecak, perihal apa yang akan kualami hari ini. Ya, aku akan mengerti jika ada bahaya mengintaiku, apalagi jika maut akan menjemputku…..
“subhanallah….., Astaghfirullah hal azhim…”
Berkali-kali aku mendengar kata-kata itu. Ada yang menutup wajahnya dengan telapak tangan, mengintip ngeri di sela jemari. Ada yang cuma bias terbelalak lalu berucap, “Oh…!!”
“Tolong buka saja wajahnya. Siapa tahu aku mengenalnya!” kata seseorang. Kurasa ia bukan ingin mengenaliku karena aku tidak pernah mengenalnya. Ya, dia hanya ingin memastikan bahwa ada jasad yang terbujur kaku di tepi jalan lintas Sumatra, dengan wajah rusak! Selanjutnya, pasti dia akan berkabar layaknya corongan toa di masjid-masjid. Tidak saja mengambarkan berita duka, tetapi dia kan tuturkan wajahku yang remuk, bola mata yang keluar, leher yang hamper putus, perut yang terburai…. Maka, orang-orang pun akan menyeringai ngeri, menyumpahi perbuatan jahat pelakunya, mengutuk! Selanjutnya serentak mereka merasa iba kepadaku, merasakan kedukaanku seakan dukanya. Puihhh!!
“Ach! Lama sekali polisi dan ambulans dating, kasihan sekali orang ini.” Aku melihat wajah seorang ibu dengan wajah tulus.
“Biasalah, Bu. Sebelum kemari mereka harus melakukan ritual terlebih dahulu. Melapor kepada atasan, menunggu perintah. Baru mereka bergerak,” sela seorang laki-laki kurus disampingnya.
“Sepertinya dia orang jauh. Alangkah kasihan anak dan istrinya jika tahu salah satu anggota keluarganya mati di sini. Atau, jangan-jangan, keluarganya tidak tahu sama sekali jika dia sudah mati,” ujar ibu itu lagi.
Aku tersentak. Benar! Tiba-tiba aku teringat istriku. Rusti yang molek, suami yang cerewet, dan suti yang lembut… Aku tidak berharap Rusti akan berduka. Pasti perempuan itu akan pura-pura sedih, lalu tersenyum sebab dia akan bebas berpelukan dengan lelaki yang disukainya. Selanjutnya dia pasti akan menambah beberapa susuk di dada, pantat, dan pipinya, agar selalu terlihat mudah dan bergairah, demi mengelabui mata-mata yang tak mampu menembus topeng gaib itu.
Lalu sumi, perempuan yang kukawini setengah tahun yang lalu. Apakah dia akan kehilangan dan menagis? Ach! Sepertinya tida! Dia pasti enggan menagis. Sebab, jika air mata itu menyapuh wajahnya niscaya dempul yang setiap hari ditempelkan akan membuat ia menjadi bopeng. Ini pasti akan merepotkan karena harus berlama-lama di depan cermin.
Suti? Tiba-tiba hatiku tersayat pedih. Wanita yang benar-benar istriku itu, pasti gelisah menanti kehadiranku. Dia akan masuk di atas sajadah, dengan sebuah Al-Quran mungil yang tak henti dbacanya; memanjatkan doa untuk keselamatanku dan kesabaran hatinya. Ia akan serta merta melengkapi shalat wajibnya dengan Dhuha, Tahajjud, Hajat, dan shalat sunnah lannya. Oh Suti…, wanita yang selalu menyambutku dengan senyum, penuh takzim, walau aku pulang larut, ia akan memperlakukanku seperti raja; melucuti pakaianku dengan hati-hati, mengelapi tubuhku dengan air hangat, memakaikanku dengan pakaian yang sudah disetrikanya, menyuguhiku segelas kopi setengah pahit, menyiapkan makan untukku….
Oh Suti, betapa baru kali ini aku takut engkau bersedih. Selama ini aku terlalu yakin kau dapat mengatasi semuanya dengan senjata sabar yang kau miliki. Aku selalu melihat rasa syukur terpancar lewat bola matamu yang bening setiap kali aku datang menemuimu, walau kadang hanya sekejap. Kerap kali kutinggalkan kau yang masih tergolek di atas kasur, membiarkan sisa libidomu terkapar.
Kali ini aku benar-benar menangis. Aku sudah tak peduli dengan orang-orang yang berduyun-duyun mendekat dan mengerumuniku. .Yang kupikirkan hanyalah, bagaimana caranya mengabari suti, agar ia tahu bahwa aku telah mati. Baru aku sadar, aku belum sempat memberikan kebahagiaan yag penuh untuknya. Aku lebih banyak bersandiwara sebagai suami yang suci. Padahal, aku lebih banyak menghabiskan malam-malamku diranjang bersama Rusti atau Sumi, berjudi, minum-minuman keras, merencanakan perampokan-perampokan, dan perbuatan terkutuk lainnya.
Duh! Suti…, air mataku meleleh berubah menjadi darah. Kau tak pernah tahu kalau aku bandit! Kau tak pernah tahu kalau aku adalah pencoleng, pembohong, gemar maksiat! Kau tak pernah tau jika nafkah yang telah kuberikan adalah hasil rampok. Merampok apa saja. Termasuk merampok gudang kopi milik pamanmu, lalu membunuhnya. Menjambret tas ibumu yang baru saja menjual hasil panen karetnya. Termasuk mencuri mobil ayahmu lalu menjualny kepada penadah dengan harga murah. Aku harus mengakui kesalahanku, Suti. Aku harus mencium telapak kakimu untuk mintak maaf.
Tiba-tiba aku mendengar erangan sirine ambulans dari arah Lubuklinggau makin mendekat, seakan mengabarkan kepada dunia: Ada orang mati mengenaskan!!! Kerumunan orang tersibak member jalan kepada polisi yang menghapiriku. Aku terperangah kala melihat yang dating adalah Darmadi adik kandung Suti. Aku menggamit lengannya untuk member tahu bahwa ini aku, kakak iparnya! Tapi, aku seperti menggamit angin. Lalu aku berteriak,”Aku Inung Dar, suami kakakmu! Dar, kabarkan kepada Suti perihal kematianku, Dar! Dar, dengar aku, Dar, Dar….!”
Aku dibaringkan pada sebuah meja keramik yang licin. Beberapa polisi bercengkerama dengan dokter dan perawat. Wartawan sibuk menjeprat-jepret kesana-kemari. “Selamat siang, Komandan!” Seorang Bintara memberi hormat. Di sampingnya berdiri beberapa orang dengan buku dan pena di tangan.
“Komandan, dari hasil autopsy diperkirakan dia adalah korban pembunuhan dan penganiayaan. Kondisinya sangat mengenaskan. Leher dan lengan kirinya hamper putus, Pak. Wajahnya sudah sangat rusak denga biji mata keluar. Ususnya terburai. Diperkirakan dia meninggal lima jam sebelum ditemukan.”
Aku hanya mengangguk membenarkan. Lalu, aku mengambil alih polisi Bintara.
“Komandan, lapor! Aku dibunuh kawan-kawanku! Genok, Mada, dan Mudin! Mereka bersekongkol membunuhku karena aku berhasil mengeruk unag empat miliar pada satu bank, sementara mereka hanya mendapatkan koper kosong berisi berkas bukti nasabah!” Aku berusaha menjelaskan kepada komandan. Tapi, mereka hanya sibuk membolak-balik tubuhku kesana kemari.
“Ndan, dengar aku, Ndan! Aku korban pembunuhan! Tangkap mereka! Bila perlu tembak mati mereka!” kali ini aku naik dekat jasadku. Berteriak sekencang kencangnya.
“kami tidak menemukan identitas Mister X ini. Kecuali tali lahat besar di samping pusat kirinya, dan tato kepala serigala  di punggungnya. Pihak rumah sakit akan segerah menguburnya, Pak,” lanjut lelaki tinggi dan berkumis.
“Tato kepala serigala?” Komandan manggut-manggut.
Periksa kembali sidik jarinya. Jangan-jangan dia adalah Inung alias cepot Giring, DPO kita selama ini.” Aku melonjok gembira. Ternyata bapak komandan ini mengenaliku.
Tapi, bagaimana aku harus mengatakan “iya” agar dia segera mengabari Suti-ku?
Lagi-lagi aku hanya mampu berteriak sendiri. Memandangi orang yang lalu - lalang keluar masuk kamar jenazah.
Aku ragu. Apakah suti akan tetap memperlakukanku layaknya raja jika dia tahu bahwa sebenarnya aku adalah jawara yang kerap membuat orang resah? Apakah dia akan tetap berdoa untukku, setelah dia tahu akulah penjahat yang membunuh pamannya, mencuri mobil ayahnya, dan menjambret unag ibunya? Apakah dia tetap akan ikhlas dan sabar jika tahu bahwa aku mempunyai Sumi dan Rusti selain dirinya? Ooooohh….
Aku melihat liang gelap yang siap mencengkramku. Beribu pasang mata merah menatapku penuh amarah. Cambuk api menyalah-nyalah. Tiba-tiba menggigil ketakutan. Oh, Suti! Suti! Di mana kau?!
“ Lapor!!! Pak Komandan, Mister X itu benar Inung alias Cepot Giring!”
Jadi, aku masih bias melihat suti? Tapi…, akankah cinta suci dan keikhlasan seorang Suti masih punya arti di sini? Bisakah ia mengembalikan aku seperti dulu. Bersamanya lagi. Sebentar saja.
Semoga…..*
3.      Prosedur Penelitian
Tinjauna cerpen Menunggu Suti karya RD Kedum ini dilakukan dengan tahap proses peninjauan yaitu dengan cara membaca dengan penuh pemahaman untuk memahami keseluruhan isi cerita yang mencakup unsur intrinsik. Struktur instrinsik cerita pendek atau cerpen itu mencakup tentang tema, latar, sudut pandang tokoh dalam cerita, gaya bahasa, alur dan lain-lainnya. Tinjauan data dalam penelitian ini lebih ditekankan pada psikologis penokohannya.
Kemudian dilanjutkan dengan pengkualitasan data akhir dan kemudian menarik kesimpulan dari hasil keseluruhan isi cerpen dengan memaparkan segala pesan dan amanat yang di sampaikan dalam cerpen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan prosedur penelitian berikut ini:
Bagan
Prosedur Penelitian
Tinjauan Psikologis Penokohan  Cerpen Menunggu Suti Karya RD. Kedum
 

1.       

                                        
Kegiatan Awal
                                                                                  
Tinjauan  Unsur Intrinsik Cerpen
Mebaca Cerpen dengan Penuh Pemahaman
                                                                                  
2.                                                                            
 

Tinjaun Psikologis Penokohan Cerpen
                                                                            

 

                                  
Kesimpulan
                                  

I.       Tempat dan Waktu Penelitian
1.      Tempat Penelitian
 Tempat penelitian ini di laksanakan di kota lubuklinggau. Tepatnya di jalan Majapahit gang Hayamwuruk. ( di rumah ).
2.      Waktu Penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian yakni dari tahap persiapan sampai dengan tahap pelaporan. Hasil penelitian dilakukan selama 3 bulan dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei.
Jadwal Penelitian

No


Kegiatan
Tahun Ajaran 2015/2016
Maret
April
Mei
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
Pengajuan Judul












2
Pengumpulan Data












3
Analisis Data












4
Penulisan Proposal












5
Perbaikan proposal












6
Seminar Proposal













J.      Latar Penelitian
Meninjau psikologis penokohan cerita pendek merupakan kegiatan yang cukup sulit untuk dipahami setiap orang. Selain bersifat apresiatif cerpen juga bersifat imajinatif serta sering menyimpang dari konvensi kebahasaan, sehingga menimbulkan keasingan bagi siswa baik untuk meninjau maupun untuk memahaminya. Oleh karena itu dalam meninjau cerita pendek atau cerpen diperlukan kecermatan dari seorang pembaca, hal ini memungkinkan secara tidak langsung pembaca akan merasakan sesuatu di dalam karya sastra tersebut.
Maka dari itu saya tertarik untuk meninjau psikologis penokohan dalam sebuah karya sastra. Seperti di jelaskan di atas bahwasannya untuk meninjau atau menganalisis karya sastra terutama meninjau psikologis penokohannya cukup sulit untuk di pahami apalagi dilakukan. Maka dari itu untuk melakukan hal tersebut di perlukan kecermatan dari seorang penganalisis.


K.    Data dan Sumber Data
1.      Data
Data pada dasarnya merupakan bahan mentah yang dikumpulkan oleh peneliti   dari dunia yang dipelajarinya. Data yang terdapat dalam penelitian ini adalah data yang berwujud kata- kata, ungkapan, kalimat yang terdapat dalam cerpen Menunggu Suti karya RD. Kedum
2.      Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data kepustakaan yaitu berupa buku, artikel, teks atau dokumen yang terdiri dari: teks kumpulan cerpen Menunggu Suti karya RD Kedum.
L.     Teknik dan Prosedur  Pengumpulan Data
1.      Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam proses penelitian ini peneliti menggunakan tekni studi pustaka dilakukan dengan cara mencari, mengumpulkan, mempelajari dan membaca buku-buku, artikel atau laporan yang berhubungan dengan objek penelitian.
2.      Prosedur Pengumpulan Data
Bila dilihat dari sumber pengumpulan data, maka peneliti dalam pengumpulan data ini menggunakan data primer dan data skunder. Data primer, atau data tangan pertama, adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari. Data sekunder atau data tangan ke dua adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjekpenelitiannya (Azwar, 2010:91).[53]
M.   Prosedur Analisis Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data kualitatif yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013:247-252) dengan tahapan analisis sebagai berikut:
1.      Reduksi Data ( Data Reduction)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.
2.      Penyajian Data ( Data Display)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.
3.      Penarikan Kesimpulan/Verifikasi ( Conclusion Drawing)
Kesimpulan awal yang dikemukan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendkung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat meneliti, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel[54].
N.    Pemeriksaan Keabsahan Data
Penentuan kualitas instrument tinjaun di dalam penelitian yang mempunyai kedudukan penting adalah data kualitatif, karena data kualitatif merupakan penggambaran variable yang diteliti, dan berfungsi sebagai alat pembuktian atau uji keabsahan data hasil penelitian meliputi : kredibilitas, transferbilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas (Syamsudin dan Vismala, 2009:91-92)
1.      Kredibilitas
Merupakan criteria untuk memenuhi nilai-nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informasi.
2.      Transferbilitas
Kriteria ini digunakan untuk memenuhi kriteria bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks atau setting tertentu dapat ditranfer ke subjek lain yang memiliki tipologi yang sama.
3.      Dependabilitas
Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak, dengan mengecek: apakah si peneliti sudaj cukup hati-hati, apakah membuat kesalahan dalam mengonseptualisasikan rencana penelitiannya, dalam pengumpulan data, dan dalam penginterpretasiannya.
4.      Konfirmabilitas
Kriteria untuk menilai kebermutuan hasil penelitian. Jika dependabilitas digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh penelitimaka konfirmabilitas digunakan untuk menilai kualitas hasil penelitian sendiri, dengan tekanan pertanyaan apakah data dan informasi serta interpretasi dan lainnya didukung oleh materi yang ada dalam audit trail[55].

Tinjaun Psikologis Penokohan Cerpen Menunggu Suti
karya RD Kedum
No
Sub Judul
No Nukilan
Jenis
Kutipan Teks
Analisis (Makna






















DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu.2009. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Aminudin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Tuntunan Lengkap Metodologi Praktik Penelitian Pendidikan. Jakarta: Diva Press.
Azwar, Saifuddin. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2008. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta:        Medpres (Anggota IKAPI).
Hadi, Amirun dan Haryono. 2005. Metodologi Penelitian Psikologi Sastra.             Bandung: CV Pustaka Setia.
Kedum, RD. 2011. Menunggu Suti. Lubuklinggau: STKIP-PGRI.
Kosasih. 2003. Ketatabahasaan dan kesusastraan. Bandung: Yrama Widya.
Minderop, Albertine. 2010. Psikologis sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadja Mada        University Press.
Prawira, Purwa Atmaja, 2012, Psikologi Umum, Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Somad Adi Abdul dkk. 2009. Berbahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan.
Sugiyono. 2013.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta.
Syamsudin dan Vismala damaianti. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa.   Bandung: Rusda.
Wahyuningtyas Sri dan Wijaya Heru Santoso.2011. Sastra Teori dan Implementasi. Kadipiro Surakarta: Yuma Pustaka.
Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra Teori dan Aplikasinya. Kanwa Publisher: Yogyakarta.


[1] Wiyatmi, Psikologi Sastra, Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, hal. 14.
[2] Aminudin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010,    hal. 36.
[3] Wiyatmi, Psikologi Sastra, Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, hal. 14-15.
[4] Ibid., 28
[5] Albertine Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus,  Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hal.54.
[6] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, CAPS, Yogyakarta, 2013, hal. 12.
[7]  Ahmadi, Psikologi Umum, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hal. 1.
[8] Sayiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 1.
[9] Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Umum, AR-RUZZ MEDIA, Jogjakarta, 2012, hal. 25.
[10] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, CAPS, Yogyakarta, 2013, hal. 96.
[11] Albertine Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hal.54.
[12] Sri Wahyuningtyas, dan  Wijaya Heru Santoso, Sastra : Teori dan Implemesntasi, Yuma Pustaka, 2011, hal 8-9.
[13]Albertine Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hal.55
[14] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, CAPS, Yogyakarta, 2013, hal. 97.
[15] Ibid., 98-99.
[16] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, CAPS, Yogyakarta, 2013, hal. 104.
[17]Albertine Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 2.
[18] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, CAPS, Yogyakarta, 2013, hal. 101.
[19] Sri Wahyuningtyas,  dan Wijaya Heru Santoso, Sastra : Teori dan Implemesntasi, Yuma Pustaka, 2011, hal. 11.
[20] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, CAPS, Yogyakarta, 2013, hal. 101.
[21] Wiyatmi, Psikologi Sastra, Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, hal. 11.
[22] Sri Wahyuningtyas, dan Wijaya Heru Santoso,  Sastra : Teori dan Implemesntasi, Yuma Pustaka, 2011, hal. 12.
[23] Suwardi Endraswara. Opcit.101.
[24] Wiyatmi, Psikologi Sastra, Kanwa Publisher, Yogyakarta, 2011, hal. 11.
[25] Sri Wahyuningtyas, dan Wijaya Heru Santoso,  Sastra : Teori dan Implemesntasi, Yuma Pustaka, 2011, hal. 13.
[26] Wiyatmi. Opcit. 11.
[27] Adi Abdul Somad, Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia, Pusat Perbukuan, Jakarta, 2008, hal 171.
[28] Kosasih,  Ketatabahasaan dan Kesustraan, Yrama Widya, Bandung, 2003, hal. 222.
[29] Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Gadja Mada University Press, Yogyakarya, 2010, hal. 10.
[30]  Kosasih. Opcit. 223.
[31] Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Gadja Mada University Press, Yogyakarya, 2010,  hal. 10.
[32] Sri Wahyuningtyas,  dan Wijaya Heru Santoso Sastra : Teori dan Implemesntasi, Yuma Pustaka, 2011, hal. 2.
[33] Kosasih, Ketatabahasaan dan Kesustraan, Yrama Widya, Bandung, 2003, hal. 223.
[34] Sri Wahyuningtyas,  dan  Wijaya Heru Santoso Sastra : Teori dan Implemesntasi, Yuma Pustaka, 2011, hal. 5-6.
[35] Adi Abdul Somad dkk, Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia, Pusat Perbukuan, Jakarta, 2008, hal 174.
[36] Kosasih, Ketatabahasaan dan Kesustraan, Yrama Widya, Bandung, 2003, hal. 225.
[37] Kosasih, Ketatabahasaan dan Kesustraan, Yrama Widya, Bandung, 2003, hal. 228.
[38] Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Gadja Mada University Press, Yogyakarya, 2010, hal. 165
[39] Adi Abdul Somad dkk, Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia, Pusat Perbukuan, Jakarta, 2008, hal 175.
[40] Sri Wahyuningtyas,  dan  Wijaya Heru Santoso, Sastra : Teori dan Implemesntasi, Yuma Pustaka, 2011, hal. 7.
[41] Kosasih, Ketatabahasaan dan Kesustraan, Yrama Widya, Bandung, 2003, hal. 230.
[42] Ibid.  230.
[43]Sri Wahyuningtyas, dan Wijaya Heru Santoso, Sastra : Teori dan Implemesntasi, Yuma Pustaka, 2011, hal. 8.
[44] Kosasih, Ketatabahasaan dan Kesustraan, Yrama Widya, Bandung, 2003, hal. 229-230.
[45] Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Gadja Mada University Press, Yogyakarya, 2010,   hal. 165
[46] Albertine Minderop, Psikologi Sastra : Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 98.
[47]   Burhan Nurgiantoro. Opcit. 165.
[48] Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Gadja Mada University Press, Yogyakarya, 2010, hal. 165-166.
[49] Amirun Hadi dan Haryono, Metodologi Penelitian Psikologi Sastra.               Bandung, CV Pustaka Setia, 2005, hal. 14.
[50] Syamsudin dan Vismala damaianti,. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, Rusda, Bandung, 2009, hal 73.
[51]  Nyoman Kutha Ratna, Teori Metode dan teknik Penelitian Sastra, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 47-48.
[52] Jamal Ma’mur Asmani, Tuntunan Lengkap Metodologi  Praktis Penelitian Pendidikan, Diva Press: Jogjakarta, 2011, hal. 40.
[53] Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. Hal. 91.
[54] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2013, hal. 247-252
[55] Syamsudin dan Vismala damaianti,. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa, Rusda, Bandung, 2009, hal. 91-92.

Subscribe for latest Apps and Games


0 komentar:

Posting Komentar