Mengapa Kursi Itu Panas Membara?
oleh: Dahlan Iskan
BOLEHKAH kita membandingkan Freeport Indonesia (FI) dengan Blok Mahakam dan Asahan?
Saya hanya tahu Asahan. Agak banyak. Soal berakhirnya kontrak itu. Menarik. Sangat menarik.
Soal Blok Mahakam, saya hanya tahu sebagian. Sedangkan soal FI, saya tidak banyak tahu.
Ketiganya mungkin bisa dibandingkan. Mungkin juga tidak. Ketiganya beda industri. Juga beda negara asal.
Asahan dengan perusahaan Jepang. Bergerak di peleburan aluminium. Blok Mahakam dengan perusahaan Prancis. Di bidang migas.
Dan Freeport dengan perusahaan Amerika.
Bidangnya pertambangan tembaga dan emas. Asahan kini sudah 100 persen
kembali milik ibu pertiwi. Blok Mahakam sedang diproses. Dan FI masih
agak jauh. Yang dekat baru heboh-hebohnya.
Di pengakhiran kontrak Asahan, saya
menjadi bagian yang ikut menangani prosesnya. Di Blok Mahakam, saya
hanya sempat membuat salah satu pagar pengamannya. Sedangkan di FI, saya
hanya ikut menonton kehebohannya.
Di Blok Mahakam, peran saya hanya
terbatas: ikut membidani lahirnya keputusan Pertamina. Keputusan yang
taktis. Yakni, keputusan bahwa Pertamina sanggup mengelola Blok Mahakam.
Dan mampu.
Kenapa saya anggap taktis?
Pertama, telah beredar luas opini bahwa Pertamina tidak akan mampu. Karena itu, sebaiknya kontrak diperpanjang.
Kedua, saya khawatir direksi Pertamina
tidak cukup kuat. Khususnya kalau ada tekanan begini: Keluarkan putusan
bahwa Pertamina tidak sanggup! Bukan tidak sanggup. Tapi disuruh tidak
sanggup.
Gejala munculnya tekanan seperti itu
belum ada. Atau lebih tepatnya: saya tidak tahu. Saya hanya khawatir.
Karena itu, lebih baik didahului. Dipagari. Saya minta direksi Pertamina
membahas soal kemampuan itu.
Secara profesional. Jangan tidak mampu
mengaku mampu. Atau mampu mengaku tidak mampu.
Tiga bulan kemudian, Pertamina lapor:
mampu. Sangat mampu. Saya minta kesanggupan itu dinyatakan dalam dokumen
yang kuat. Lalu dikirimkan ke semua pihak.
Dengan demikian, tidak akan ada lagi
yang memutarbalikkan opini. Pun Pertamina, siapa pun direksinya, terikat
dengan putusan itu. Memang bisa saja diubah. Oleh direksi berikutnya,
misalnya. Tapi, setidaknya memerlukan proses.
Peran saya sebatas itu. Tak lama kemudian, masa jabatan saya berakhir.
Soal FI lain lagi. Saya tidak banyak
tahu. Kondisi FI juga sudah memburuk. Dividen sudah seret. Ditagih
sulit. Atau tidak bisa. Lebih tepatnya memang tidak ada dividen. Berarti
tidak ada lagi setoran untuk negara.
Lantas, apa sumbangan FI pada keuangan
negara? Dari dividen tidak ada lagi. Maka, saya memperjuangkan ide ini:
Saham 9 persen itu disatukan saja dengan saham-saham minoritas milik
negara di tempat lain.
Disatukan dalam satu perusahaan. Lalu,
nilai saham-saham itu dijadikan agunan untuk mencari uang. Uangnya bisa
dipakai membangun infrastruktur.
Ide seperti itu setidaknya bisa membuat
saham yang tidak berarti itu menjadi saham hidup. Bukan saham yang hanya
kelihatan angkanya.
Tapi, memperjuangkan ide tersebut juga
tidak mudah. Tepatnya: sulit. Saham itu bukan milik BUMN. Tapi milik
negara. Untuk membicarakannya, harus memutari labirin birokrasi. Saya
merasa gagal memperjuangkan ide tersebut. Tapi, dengan iklim
pemerintahan sekarang, mestinya bisa dicoba lagi.
Cara itu penting karena, rasanya, sampai
berakhirnya kontrak FI tahun 2021 nanti, sulit mengharapkan bisa dapat
setoran dividen dari FI.
Kondisi FI memang benar-benar sulit.
Apalagi setelah tahun 2013 lalu membeli perusahaan minyak Plains Company
yang produksinya 300 ribu barel per hari (bukan 300 juta seperti
tulisan saya minggu lalu). Sejak jatuhnya harga tembaga, Freeport
terhuyung-huyung. Dengan jatuhnya harga minyak, Freeport terjungkal.
Mau diapakan FI?
Sulit. Sulit sekali. Terutama karena
ini: adanya peraturan yang menyulitkan banyak pihak. Menurut peraturan
itu, pemerintah baru boleh membicarakan kontrak FI dua tahun sebelum
kontrak berakhir. Berarti tahun 2019. Baru boleh membicarakan.
Saya tidak tahu mengapa batas itu dua
tahun. Mengapa tidak lima tahun? Atau empat tahun? Apa latar
belakangnya? Bagaimana asbabun nuzulnya?
Kita betul-betul ingin mendengar dari si
pemilik ide dua tahun itu. Perlu buka-bukaan. Secara jenih. Akademis.
Kepala dingin. Semata untuk mencari solusi.
Penentuan waktu dua tahun itu
benar-benar menyulitkan semua pihak: pemerintah, yang merasa punya
kepentingan, dan Freeport. Menyulitkan bagi pihak yang ingin
memperpanjang. Bahkan sekaligus menyulitkan pihak yang tidak ingin
memperpanjang.
Untuk skala seraksasa FI, dua tahun itu tidak cukup. Sangat. Sangat mepet. Akibatnya, semua pihak tersandera.
Jangan-jangan, dulu, penentuan dua tahun
itu tidak mempertimbangkan besarnya skala usaha FI. Perlu ada kesaksian
dari penyusun draf peraturan tersebut. Agar yang ingin mengubahnya
tidak dituduh menyimpan udang di balik tembaga.
Kondisi FI sangat berbeda dengan Asahan. Di Asahan, jelas ada kesepakatan bagaimana kalau suatu saat kontrak berakhir.
Pihak Jepang wajib menyerahkan kembali Asahan dalam kondisi terbaiknya. Kita tidak khawatir akan menerima barang rongsokan.
Saya memuji habis perusahaan Jepang
tersebut. Dalam acara perpisahan dengan mereka, pujian itu saya ulangi
beberapa kali. Jepang menyerahkan kembali Asahan tidak hanya dalam
kondisi baik. Tapi seperti baru: baik PLTA-nya maupun industri
aluminiumnya. Bahkan investor tersebut meninggalkan uang cash yang
sangat besar.
Apakah Jepang waktu itu tidak menuntut
perpanjangan? Jelas: menuntut. Sangat. Amat sangat. Ngotot. Mengancam.
Tidak hanya itu. Jepang juga mengancam ke arbitrase. Bukan. Bukan hanya
mengancam. Tapi sudah melakukannya.
Pak Hidayat, menteri industri saat itu, berjuang habis-habisan. Bersama timnya. Berhasil.
Untuk FI, sebenarnya bisa lebih pasti.
Perpanjangan dalam pengertian seperti kontrak lama sudah pasti tidak
mungkin. Dalam UU kita yang baru, tidak dikenal lagi binatang bernama KK
(kontrak karya). Ke depan yang dikenal hanya dua: izin usaha
pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Juntrungannya begini: (1) Seluruh KK
Freeport berakhir sesuai dengan kontraknya. (2) Wilayah bekas KK
tersebut berubah status menjadi ’’wilayah pencadangan nasional’’ (WPN).
(3) Pemerintah bisa mengeluarkan izin khusus (IUPK) tanpa harus tender,
tapi maksimum 50.000 hektare di wilayah WPN.
Maka, kalaupun Freeport minta izin
perpanjangan, maksudnya adalah minta IUPK. Untuk 50.000 hektare. Mungkin
sudah mengincar di wilayah terbaik dari areal yang sekarang
dimilikinya.
Masalahnya, sampai sekarang belum ada
aturan yang memerincinya. Misalnya: siapa yang boleh mengajukan IUPK.
Siapa yang akan diberi. Apa saja persyaratan untuk memenangkan perebutan
itu. Dan seterusnya.
Menurut UU, menteri ESDM-lah yang berwenang mengeluarkan aturan itu. Maka betapa panas kursinya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar